Page 409 - A Man Called Ove
P. 409

A Man Called Ove

                “Aku suka rumah,” gumam anak itu pelan.

                Ove memandangnya. Gadis itu memandang Ove.
            Ove meletakkan telunjuk di layar, meninggalkan sidik jari
            besar, menunjuk ruang kosong di kota itu dan bertanya
            apa yang terjadi jika dia mengklik tempat itu. Gadis tujuh
            tahun menggerakkan kursor ke sana dan mengklik, dan
            dalam sekejap komputer itu memasang rumah di sana. Ove
            tampak agak curiga. Lalu dia menyamankan diri di atas kotak
            plastik itu dan menunjuk ruang kosong lain. Dua setengah
            jam kemudian, Parvaneh melangkah masuk dengan marah
            dan mengancam hendak menarik steker jika mereka tidak
            langsung berhenti bermain.
                Persis ketika Ove berdiri di ambang pintu bersiap untuk
            pergi, si gadis tujuh tahun menarik lengan kemejanya dengan
            hati-hati dan menunjuk gambar di dinding, tepat di samping
            Ove. “Itu rumahmu,” bisiknya, seakan itu rahasia antara
            dirinya dan Ove.

                Ove mengangguk. Ternyata kedua anak kecil itu lumayan
            juga.
                Ove meninggalkan Parvaneh di area parkir, menyeberang
            jalan, membuka pintu kaca, dan melangkah masuk. Kafe itu
            kosong. Kipas-pemanas di atas kepala terbatuk-batuk seakan
            dipenuhi asap rokok. Amel berdiri di balik meja dengan
            kemeja bernoda, mengelap gelas-gelas dengan lap putih.
                Tubuh gemuknya lunglai, seakan baru saja mengembuskan
            napas yang sangat panjang. Wajahnya menunjukkan gabungan
            antara kepedihan mendalam dan kemarahan tak terperikan
            yang hanya bisa ditampilkan oleh lelaki generasinya yang



                                       404
   404   405   406   407   408   409   410   411   412   413   414