Page 433 - A Man Called Ove
P. 433
A Man Called Ove
“Kau tidak akan mati meninggalkanku, Ove,” tangisnya.
“Jangan pernah berpikir begitu.” Jemari Ove bergerak lemah;
Parvaneh mencengkeram jemari itu dengan kedua tangannya
dan meletakkan kening di telapak tangan Ove.
“Kurasa sebaiknya kau menenangkan diri, Bu,” bisik
Ove parau.
Lalu Parvaneh memukul lengan Ove lagi. Kemudian,
Ove memahami kearifan untuk tetap diam selama beberapa
saat. Namun Parvaneh tetap berada di sana dengan tangan
Ove dalam genggamannya, dan menjatuhkan tubuh ke kursi
dengan perpaduan antara kecemasan, empati, dan kengerian
luar biasa dalam mata cokelat besarnya itu. Lalu Ove
mengangkat tangannya yang satu lagi dan membelai rambut
Parvaneh. Ada selang-selang yang masuk ke hidungnya dan
dadanya bergerak dengan susah payah di balik selimut.
Seakan setiap tarikan napasnya adalah satu denyut panjang
kesakitan. Kata-katanya keluar dengan tersengal-sengal.
“Kau tidak membiarkan lelaki-lelaki itu membawa
ambulans ke dalam area permukiman, kan?”
Perlu waktu sekitar empat puluh menit sebelum salah
seorang perawat akhirnya punya keberanian untuk kembali
memasuki ruangan. Beberapa saat kemudian, seorang dokter
muda berkacamata dan bersandal plastik yang, dalam
pandangan Ove, jelas tampak seperti orang yang sangat
kaku, memasuki ruangan dan berdiri mengantuk di samping
ranjang. Dia menunduk memandang sehelai kertas.
“Parr … nava …?” Dia tercenung, memandang Parvaneh
dengan kebingungan.
428