Page 9 - A Man Called Ove
P. 9
A Man Called Ove
“Tidak, maksud saya, komputernya tidak punya keyboard
yang terpisah. Anda mengontrol segalanya dari layar.”
Ove menggeleng tidak percaya, seakan baru saja
menyaksikan asisten penjualan berjalan mengitari gerai dan
menjilati kaca depan etalase.
“Tapi, aku harus punya keyboard. Kau mengerti, kan?”
Pemuda itu mendesah panjang, seakan menghitung
sampai sepuluh dengan sabar.
“Oke. Saya mengerti. Kalau begitu, saya rasa Anda jangan
memilih komputer ini. Saya rasa Anda harus membeli sesuatu
yang seperti MacBook saja.”
“MacBook?” tanya Ove dengan sangat tidak yakin.
“Apakah itu salah satu ‘eReader’ hebat yang dibicarakan
semua orang?”
“Bukan. MacBook adalah … adalah … laptop, dengan
keyboard.”
“Oke!” desis Ove. Sejenak dia memandang ke sekeliling
toko. “Jadi, baguskah itu?”
Asisten penjualan menunduk memandang gerai dengan
cara seakan mengungkapkan hasrat luar biasa—walaupun
sedikit terkendali—untuk mencakari wajahnya sendiri.
Lalu, mendadak dia berubah ceria, mengulaskan senyum
bersemangat.
“Begini saja. Coba saya lihat, apakah kolega saya sudah
selesai dengan pelanggannya sehingga bisa datang dan
memberikan demonstrasi untuk Anda.”
4