Page 12 - A Man Called Ove
P. 12
Fredrik Backman
kopi yang layak. Sama seperti sekarang ini, tak seorang pun bisa
menulis dengan pena. Kini semuanya dilakukan oleh komputer
dan mesin espresso. Mau ke mana dunia ini jika orang bahkan
tidak bisa menulis atau menyeduh sedikit kopi?
Sementara secangkir kopi yang layak sedang dalam proses
penyeduhan, Ove mengenakan jaket dan celana panjang biru
tua, memakai kelom kayu, lalu memasukkan tangan ke saku
dengan cara khas lelaki setengah baya, yang menganggap
dunia tak berguna di luar sana akan mengecewakannya. Lalu
dia melakukan inspeksi pagi jalanan. Rumah-rumah berteras
di lingkungannya diliputi keheningan dan kegelapan ketika
dia melangkah keluar dari pintu, dan tak seorang pun terlihat.
Sudah kuduga, pikir Ove. Di jalanan ini tak seorang pun
mau repot-repot bangun lebih pagi ketimbang seharusnya.
Sekarang ini hanya orang-orang yang berwirausaha dan jenis-
jenis tak terhormat lainnya yang tinggal di sini.
Si kucing duduk dengan ekspresi tak peduli, di tengah
jalan setapak yang memanjang di antara rumah-rumah.
Ekornya hanya setengah, telinganya hanya satu. Petak-
petak bulu menghilang di sana-sini seakan seseorang telah
mencabuti bulunya sejumput demi sejumput. Bukan kucing
yang mengesankan.
Ove maju terus. Si kucing menegakkan tubuh. Ove
berhenti berjalan. Mereka berdiri di sana, saling menilai
selama beberapa saat, seperti dua calon pembuat onar di
sebuah bar di kota kecil. Ove berpikir untuk melemparkan
salah satu kelomnya pada si kucing. Si kucing tampak seakan
menyesal tidak membawa kelomnya sendiri untuk membalas
lemparan itu.
7