Page 21 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 21
www.rajaebookgratis.com
setengah jam kemudian saat mobil sport itu benar-benar berada di atas jalan tol menuju
bandara, yang tersisa hanya wajah merah bin bete Dalimunte.
"Bi, janga marah, ya! Kan yang terakhir tertinggal laptop Abi...."
Intan nyengir sambil memeluk hamster belangnya. Menahan tawa. Ummi menyeringai kecil,
tersenyum tanggung melihat ekspresi wajah putrinya. Dalimunte hanya berdehem tanggung.
"Abi, sih, pakai terburu-buru berangkatnya.... Lihat, tuh, sandal Abi malah ketukar-tukar."
Intan mendekap mulut. Ummi yang justru tidak kuasa menahan tawa melihat kaki suaminya
yang menginjak pedal gas dan kopling. Intan benar. Warna-warni (mana suaminya masih
pake kaos kaki segala).
Dalimunte akhirnya ikutan nyengir. Manyun. Tertawa kecil. Meski sekejap kemudian
melirik lagi jam di pergelangan tangannya.
Lima belas menit lagi pesawat itu take-off.
"Si, si.. What? NO! Assolutamente no! like i told you, siamo arivati a Roma half hour fa,
Albertino... saya mendengar suara Anda, Albertino... APA? Tidak! Tentu saja tidak. Sesuai
janji kami sudah tiba di Roma setengah jam lalu, Albertino—"
"Teng-tong-teng-tong....I passeggeri del treno Eurostar (diretto a Paris dslle ore 10.00) sono
pregati di recarsi velocemente al binario 9...."
Roma Termini (stasiun kereta api pusat) itu meski terhitung sepi, karena orang-orang
sibuk menonton pertandingan final sepak bola, tapi tetap berisik oleh suara teng-tong-teng
speaker pengumuman.
"Tidak. Tidak bisa, Albertino. Tidak bisa. Kami harus segera kembali ke Jakarta. Sekarang
juga. Pagi ini juga. Ya! Ya! Pertemuan itu batal —Hallo? Kau mendengarnya, Albertino?
BATAL!" Belepotan Ikanuri menjelaskan lewat telepon genggamnya. Satu karena dia
bersama Wibisana sedang terburu-buru membawa ranselnya mencari peron nomor 9. Dua
karena bahasa Italianya jauh dari lancar, campur-campur. Campur Inggris, malah kadang
campur bahasa Indonesia.
"Albertino, Anda tidak mengerti. Saya harus kembali sekarang juga ke Jakarta. Kau masih
menunggu di bandara? BANDARA? Tidak. Kami sekarang di stasiun kereta Roma! Apa?
Bukan bandara, kami sekarang ada di stasiun kereta! Roma Termini. Tidak. Ya Allah, tentu
saja kami tidak naik kereta dari Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"
"Teng-tong-teng-tong.... Panggilan terakhir untuk penumpang Kereta Lokal Chievo3000.
Harap segera menuju peron nomor 7...."
"Kau dengar? Tidak usah ditunggu. Kami harus pulang malam ini juga ke Jakarta, kau
dengar? Ya? Ya? Albertino, pertemuan besok batal! Batal! BATAL! Kau dengar? Apa? Ah,
sialan—" Ikanuri memaki.
Wibisana yang berlari-lari kecil di sampingnya menoleh.
"Sinyalnya terputus—" Ikanuri menelan ludah.
"Tung-tong-teng-tong.... Kereta ekspres menuju Swiss Benin nomor 12 dibatalkan karena
alasan cuaca buruk. Badan metereologi meramalkan akan turun hujan lebat di selatan Swis.
Kemungkinan longsor. Penumpang bisa melapor ke loket penjualan tiket kami untuk full-
refund, atau meminta klaim kamar hotel jika memutuskan untuk menunggu kereta besok
pagi. Seluruh staf dan manajemen Trenitalia, dengan rendah hati meminta maaf..."
"Ini semua gara-gara sepak-bola sialan itu, bah!"
Ikanuri bersungut-sungut. Menyeret kopernya.
"Andaikata Kak Laisa ada di sini, kau pasti sudah dipukulnya dengan sapu lidi berkali-kali!"
Wibisana menarik nafas pendek, memperlamban langkah kaki, papan elektronik yang
bertuliskan angka 9 (peron tujuan Paris, Perancis lewat Pegunungan Alpen, Swiss) sudah di
depan mereka. Mencoba untuk lebih rileks. Ada gunanya juga setelah setengah jam terakhir
terburu-buru, mereka tidak terlalu terlambat, masih ada waktu lima menit lagi.