Page 23 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 23

www.rajaebookgratis.com





               kereta, mereka segera  menyadari,  setidaknya kereta ini  lebih dari cukup untuk beristirahat
               setelah  penerbangan  belasan  jam.  Menurut  gadis  penjaga  counter  tadi,  butuh  waktu
               setidaknya  dua  belas  jam  untuk  tiba  di  Paris,  Perancis.  Melewati  setidaknya  dua  ibukota
               negara-negara  eksotis  Eropa.  Andai  saja  situasinya  lebih  baik,  mungkin  ini  bisa  jadi
               perjalanan  hebat,  bisa  menjadi  trip  perayaan  atas  suksesnya  kesepakatan  bisnis  dengan
               produsen mobil balap itu.
                   Ikanuri  menghela  nafas,  teringat  telepon  yang  terputus  barusan,  pelan  melemparkan
               kopernya  ke  kursi.  Wibisana  menutup  pintu  kabin.  Juga  memikirkan  hal  yang  sama.  Tapi
               lupakan! Lupakan soal pertemuan di Piaza de Palozzo besok pagi. Lupakan soal kesepakatan
               bisnis itu, meski mereka butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Itu
               bisa diurus nanti-nanti, jika masih sempat. Jika produsen itu belum keburu memilih partner
               bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah Lahambay jauh lebih penting.
               Itu benar-benar jauh lebih penting.

               8
               KAU ANAK LELAKI
               ANAK KECIL berumur dua belas tahun itu sedang sibuk menyusun balok-balok   bambu   di
               pinggir sungai  yang mengalir deras. Mukanya serius. Mulutnya sedikit terbuka. Kepalanya
               terus berpikir. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali, dia menyusun ulang balok-balok itu.
               Jatuh, disusun kembali. Gesit. Terampil tangannya mengikatkan tali rotan. Memukul ujung
               bambu  dengan  batu  agar  melesak  lebih  dalam  ke  tepi  sungai.  Cahaya  matahari  pagi  yang
               meninggi menyinari Wajahnya.
                   Herhenti sejenak. Menyeka keringat. Lantas beranjak ke tepi sungai. Mengambil kincir
               yang tersandar di cadas batu setinggi lima meter. Kincir dari batang bambu itu benar-benar
               seadanya.  Jauh  dari  kokoh.  Tapi  itulah  usaha  terbaiknya.  Sudah  seminggu  terakhir  dia
               sembunyi-sembunyi  membuatnya.  Selepas  pulang  sekolah.  Selepas  membantu  Mamak
               Lainuri dan Kak Laisa di ladang. Kapan saja ada waktu luang. Dia akan berlari ke tubir cadas
               sungai. Mengerjakan proyek rahasianya jadi bagaimanalah akan kokoh dan baik bentuknya.
                   Kakinya  sedikit  bergetar  membawa  kincir  yang  lumayan  besar  untuk  anak  dua  belas
               tahun seumurannya. Arus air sungai yang deras membuatnya semakin sulit melangkah. Hati-
               hati kincir itu diletakkan di atas susunan balok bambu. Anak itu menghela nafas lega. Tinggal
               memperbaiki  posisinya.  Akhirnya  satu  kincir  terpasang  sudah.  Celananya  basah.  Bajunya
               juga  basah.  Sedikit  belepotan  tanah  liat  cadas  sungai.  Dia  melangkah  ke  pinggir  sungai.
               Tersenyum senang melihat pekerjaannya. Kincir itu mulai bergerak pelan mengikuti arus air.
               Dan bumbung kosong bambu yang dibuat sedemikian rupa mulai berputar, mengalirkan air
               sungai  ke  atas.  Tumpah  saat  tiba  di  putaran  tertingginya.  Berhasil!  Anak  kecil  itu
               menyeringai  lebar.  Masih  perlu  setidaknya  empat  kincir  lagi  hingga  akhirnya  tiba  di  atas
               cadas sana, pagi ini dia harus menyelesaikan dua di antaranya. Dengan demikian, setidaknya
               dia bisa membuktikan air-air ini bisa dibawa ke atas dengan lima kincir bersambung. Bukan
               dengan  kincir  raksasa  yang  selama  ini  selalu  dianggap  solusi  terbaiknya.  Dia  beranjak
               memasang pondasi balok-balok bambu berikutnya di dinding cadas.
                   Kali  ini  jauh  lebih  sulit.  Cadas  itu  keras  untuk  dihantam  meski  dengan  ujung  bambu
               runcing  sekalipun.  Berkali-kali  ujung  bambunya  penyok.  Terpaksa  dipampas  lagi  dengan
               golok. Setengah  jam  berlalu, pondasi sederhana  di dinding cadas sungai  itu akhirnya  jadi.
               Kali ini benar-benar lebih sulit memasangkan kincir kedua yang tersandar di dinding cadas.
               Berat. Tidak  mudah  mengangkatnya.  Tidak  kehabisan  akal,  anak  kecil  itu  mengambil  tali
               rotan  yang  telah  disiapkannya.  Menyangkutkan  ujung-ujungnya  di  salah  satu  pohon  besar
               lima meter di atas cadas. Lantas pelan-pelan menarik kincir itu ke atas.
                   Matahari  sudah  benar-benar  tinggi  ketika  ia  berhasil  meletakkan  kincir  itu  di  pondasi
               dinding  cadas.  Bajunya  penuh  oleh  licak  lumpur.  Berhenti  sejenak.  Sekali  lagi  tersenyum
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28