Page 28 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 28

www.rajaebookgratis.com





               kampung.  Seperti  tetangga  lainnya,  Mamak  bertanam  padi.  Musim  ini  kabar  baik,  hujan
               datang  teratur.  Maksudnya,  saat  nugal  (masa  tanam)  hujan  turun,  saat  akan  panen  seperti
               sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal
               panen karena busuk.
                   Menjelang  ashar  Mamak  Lainuri,  Kak  Laisa  dan  Kak  Dalimunte  pulang.  Biasanya
               Mamak langsung ke hutan, menghabiskan dua jam sebelum maghrib mencari damar, rotan,
               atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian
               tadi siang, jadi wajah Mamak terlihat marah sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka
               marah.  Lebih  banyak  berdiam  diri.  Melotot,  dan  anak-anaknya  langsung  mengerti.
               Bagaimanalah  Mamak  akan  sempat  marah?  Mamak  sudah  terlanjur  lelah  dengan  jadwal
               harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula aren, menyiapkan keperluan
               ladang. Lantas berangkat ke ladang. Nanti, baru lepas isya, setelah anak-anaknya tidur baru
               bisa istirahat. Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah.
                   Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan
               Wibisana sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu sudah biasa. Sudah bebal dua sigung itu
               diceramahi Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah.
               Selama ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah.
               Pulang sebelum lembah gelap. Tapi apa yang dilakukan mereka seharian ini? Mereka baru
               pulang  setelah  yang  lain  selesai  shalat  maghrib.  Ikanuri  dan  Wibisana,  berani  sekali  ikut
               menumpang  mobil starwagoon tua ke kota kecamatan,  membantu tauke desa atas  menjual
               sayur-mayur di sana.
                   Mereka  pulang  sambil  tersenyum  lebar  membawa  bungkusan  dari  kota,  upah  kerja
               seharian,  tapi  Mamak  tidak  peduli.  Terlanjur  marah.  Maka  kena  omellah  Ikanuri  dan
               Wibisana.  Tentang  mau  jadi  apa  mereka?  Sekolah!  Sekolah  jauh  lebih  penting  daripada
               bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah
               itu  menyenangkan?  Hanya  karena  menyadari  adzan  isya  akan  segera  berkumandang  dari
               suraulah omelan Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib!
               lantas  makan  bersama  di  hamparan  tikar.  Lebih  banyak  berdiam  diri.  Padahal  Kak  Laisa
               masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak
               cukup membantu suasana.
                   Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di surau; dan kali ini
               dua sigung  nakal  itu  menurut barulah ruang tengah rumah panggung  itu terasa  lebih  lega.
               Lampu  canting  besar  di  dinding  kerlap-kerlip.  Ikanuri  dan  Wibisana  belajar  di  atas  tikar
               pandan. Membaca, entah benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi.
               Mereka sekali dua saling  berbisik pelan,
               "...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..."
               "...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...".
               Terdiam saat Mamak menoleh.
               "...lewat jalan itu lebih cepat..."
                   Yashinta asyik menggambar berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah mengerjakan
               apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan Mamak duduk di sebelah
               Yashinta, menganyam topi pesanan.
                   Malam beranjak matang.
               "Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?"
               Yashinta  mendadak  menghentikan  gerakan  tangannya,  menoleh  ke  Kak  Laisa.  Ia  teringat
               kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
               "Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik,
               "Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?"
               Yashinta bertanya sekali lagi, ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak dan Kak Laisa pasti
               lebih repot lagi mencari uangnya.
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33