Page 30 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 30
www.rajaebookgratis.com
"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"
Dalimunte yang mendorong koper sepanjang lorong garbarata pesawat mengangguk
pelan. Ummi berjalan di belakang.
Asyik. Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante Yashinta. Lihat-lihat
foto yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante Yashinta yang suka ngajarin melukis.
Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah.
"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?"
Dalimunte mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar membuatnya tak
sempat berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum menghubungi mereka satu pun?
Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa
yang sedang dilakukan adik-adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan Mamak Lainuri di
perkebunan strawberry. Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya. Antrian penumpang
keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.
"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!"
Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang
karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan Oom Ikanuri
dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan.
Dulu pernah hamster belang Intan disembunyikan di tong belakang perkebunan. Untung
ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama
Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain
Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut
atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun
strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung.
Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang begini sejak tadi dari
sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling
juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin minuman itu.
10
PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG
PAGI BERIKUTNYA datang lagi.
Wak Burhan mengumandangkan adzan shubuh. Meski sudah sepuh, suara Wak Burhan
yang tanpa speaker dari surau terdengar menggema di perkampungan bawah Lembah
Lahambay. Dalimunte terkantuk-kantuk menarik sarung adik-adiknya. Kerlip lampu canting
semakin lemah, minyak tanahnya hampir habis.
"Bangun Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya menggeliat sebal. Menarik bantal. Lantas menutupkannya ke
kepala. Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit terhuyung berdiri. Pagi ini penting
baginya. Sebenarnya juga bagi seluruh penduduk kampung. Seperti kesepakatan minggu
lalu, bakal ada pertemuan rutin tahunan di balai kampung. Membicarakan soal panen
ladang-ladang mereka, perbaikan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, perselisihan antar
tetangga (jika ada), perambah hutan dari luar lembah yang semakin sering masuk, hal-hal
kecil. Dulu, waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi wakil di pertemuan, mereka bersama-
sama datang ke balai kampung. Asyik menyimak pembicaraan.
Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak sejak jam empat
tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau, Ditemani Kak Laisa. Brr... dingin. Musim
kemarau, dinginnya semakin terasa menusuk tulang. Tapi Dalimunte semangat shalat di
surau. Teringat ada hal penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia
nekad bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa. Beberapa
tetangga membawa obor bambu menuju surau. Jalanan kampung masih gelap. Obor itu