Page 34 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 34

www.rajaebookgratis.com





               "Kau sudah menelepon Mamak di kampung?"
               Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan
               merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
               "Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan Wibisana akan berusaha
               segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang sering kubilang dulu? Kau seharusnya
               sudah menemukan alat agar kami bisa pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan
               hanya mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu juga
               sudah  bilang  itu  benar  dalam  cerita-ceritanya  lepas  Shubuh,  tak  perlu  kau  buktikan—"
               Ikanuri mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
                   Lengang.  Dalimunte  mengusap  wajahnya  sekali  lagi.  Terdiam.  Bukan  karena  gurauan
               Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua memang sejak kecil kompak sudah
               suka  mengganggu  'penelitian-penelitiannya'.  Menyembunyikan  alat-alatnya.  Dalimunte
               terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas.
               "Abi, jadi naik nggak?"
               Intan berseru memanggil dari dalam mobil. Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang.
               Sopir perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu.
                   Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal mencemaskan. Yashinta!
               Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus
               cek GPS (global positioning system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja
               mati, apalagi GPS-nya. Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah
               menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil.
                   Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.

               11
               LIMA KINCIR ANGIN
               "MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?"
               Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan
               gambar-gambarnya.
               Dalimunte mengangguk mantap.
               "Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?"
               Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.
                   Dalimunte  mengangguk  sekali  lagi.  Bahkan  kincir-kincir  itu  bisa  sekalian  digunakan
               sebagai pembangkit listrik.
               "Itu  lima  meter  tingginya,  Dalimunte!  Sebesar  apa  kincir  yang  harus  kita  buat  agar  bisa
               mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."
               Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.
               "Tidak besar. Tidak besar!"   Dalimunte   menjawab cepat. Setelah   lima   menit menjelaskan
               kertas-kertasnya  dengan  terbata-bata,  meski  masih  gugup,  dia  jauh  lebih  tenang  sekarang,
               "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"
               "Mustahil!   Itu   tidak   mudah   dilakukan—"
               Pemuda yang lainnya menimpali, memotong,
               "Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan? Menyusunnya
               agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"
               "Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."
               "Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga
               kelas enam di sini selain kau...."
                   Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.
               "Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke
               ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
               "Dengan pipa-pipa—"
   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39