Page 35 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 35

www.rajaebookgratis.com





               "Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel
               pemutar! Mana cukup uang kas kampung...."
               Mengeluh.
               "Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
               "Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah
               membuatnya,"
               Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan.
               "Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas—"
               Dalimunte  mencoba  meningkahi  keramaian setelah terdiam  sebentar, dia tidak  menyangka
               akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya
               memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —
               "Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?"
               Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu.
                   Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu
               itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah
               roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan
               idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin
               ramai terdengar.
                   Dalimunte  menelan  ludah.  Tertunduk.  Sia-sia.  Idenya  akan  mubazir.  Tidak  ada  yang
               menanggapinya  serius.  Persis  seperti  selama  ini,  penduduk  kampung  seolah  sudah  pasrah
               dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air
               raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk,
               menelan ludah.
               "Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"
               Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara  lantang sekali. Membuat  dengung  lebah
               terdiam. Seketika.
                   Dalimunte menoleh. Gerakan  tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu.
                   Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya.
               "Kita  bisa  melakukannya.  Apa  susahnya  membuat  kincir-kincir  itu.  Jika  Dalimunte  bisa
               membuat  dua  dengan  bambu  seadanya,  kita  bisa  membuatnya  yang  lebih  bagus,  lebih
               kokoh."
               Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.
                   Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam belas tahun
               itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua
               dan  lebih  besar  darinya.  Kak  Laisa  terlihat  begitu  yakin  dengan  setiap  kalimatnya.  Sama
               sekali tidak terlihat gugup.
               "Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— "
               Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.
               "Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—"
               Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.
               "Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar
               itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu
               terlalu tinggi!"
               Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.
               "Kalian  tidak  mendengarkan  dengan  baik  kalau  begitu.  LIMA  KINCIR  AIR.  Dalimunte
               bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
               "Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"
               "Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang
               tenaga  jika  gagal!  Tapi  jika  berhasil?  Kita  sudah  bertahun-tahun  hanya  menggantungkan
               nasib  ladang  kita,  hidup  kita,  kampung  kita,  dari  kebaikan  hujan.  Sudah  saatnya  kita
   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40