Page 31 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 31

www.rajaebookgratis.com





               sekalian  juga  penerangan  di  surau.  Tidak  banyak  peserta  shalat  shubuh,  paling  berbilang
               enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte.
                   Sekembali  dari  surau,  Ikanuri  dan  Wibisana  masih  tertidur,  saling  membelakangi
               punggung,  dengan  kaki-kaki  menyilang.  Dalimunte  nyengir  melihat  posisi  aneh  itu,  malas
               membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja.
                   Siapapun  di  lembah  itu  tahu  persis,  di  sekolah  Dalimunte  dikenal  sebagai  anak  yang
               paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte
               (meski untuk yang  ini tidak semua penduduk  lembah tahu), dia suka sekali  mengutak-atik
               sesuatu.  Diam-diam  melakukannya  di  sela-sela  membantu  Mamak  di  ladang,  Apa  saja.
               Menciptakan  alat-alat  yang  aneh.  Seperti  keranjang  aneh  penangkap  udang,  alat  panjang
               penyadap damar, dan sebagainya.
                   Ahad  pagi,  hari  ini  sekolah  libur.  Selepas  Kak  Laisa  meneriaki  Ikanuri  dan  Wibisana
               bangun  agar  shalat  shubuh,  sesudah  sarapan  nasi  goreng,  benar-benar  hanya  nasi  yang
               digoreng plus potongan cabai dan bawang merah, mereka beramai-ramai berangkat ke balai
               kampung. Pertemuan rutin warga kampung.
               "Kakak bawa apa, sih?"
               Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte.
               "Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun—"
               Ikanuri dan Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka jahil
               merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte.
                   Dalimunte tidak mempedulikan.
                   Balai  kampung  itu  sudah  ramai  saat  mereka  tiba.  Pertemuan  sengaja  dilakukan  sepagi
               mungkin,  biar  selepas  acara,  mereka  masih  sempat  bekerja  di  ladang.  Kursi-kursi  bambu
               berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh pemuda kampung.
                   Wak   Burhan,   sesepuh   kampung   berdehem,   setelah memastikan semua warga hadir,
               mengetukkan palu dari bonggol bambu, segera memulai pertemuan. Warga kampung diam
               memperhatikan.  Pertama,  mereka  membicarakan  soal  kesepakatan  lumbung  kampung.
               Berapa kaleng yang harus disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala
               atau  per-hasil  panen.  Lima  belas  menit  penuh  seruan-seruan.  Usul-usul.  Kalimat-kalimat
               keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi. Setuju. Beres.
                   Mamak  Lainuri  menyeka  dahi.  Meski  lima  kaleng  itu  benar-benar  akan  mengurangi
               penghasilan ladang mereka yang tidak luas, cadangan padi selalu penting. Dua tahun silam
               saat  ladang  mereka  terkena  hama  belalang,  lumbung  kampung  memastikan  perut  anak-
               anaknya  tetap  kenyang.  Setidaknya  panen  kali  ini  semoga  masih  ada  sisa  buat  membeli
               seragam sekolah buat Yashinta.
                   Lebih banyak lagi waktu dihabiskan untuk membahas soal perambah hutan dari daerah
               lain,  Seruan-seruan  marah  makin  ramai.  Memaki.  Mengancam.  Wak  Burhan,  yang  masih
               terhitung  saudara  Mamak  Lainuri  (dan  juga  warga  kampung  lainnya)  menengahi.  Sepakat
               melaporkan soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay
               itu  adalah  kawasan  taman  nasional.  Daerah  konservasi.  Hanya  lokasi-lokasi  tertentu  yang
               dibolehkan  diolah,  meski  penduduk  setempat  sendiri  kadang  juga  melanggarnya  dengan
               menangkapi uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya. Tapi perlakuan perambah hutan
               itu  memang  mencemaskan,  mereka tega  membawa senso (gergaji  mesin)  besar, dan tanpa
               ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa.
                   Perbaikan  jalan  bebatuan  tiga  meter  itu  diputuskan  hanya  dalam  hitungan  menit.
               Keputusannya adalah: Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik hati sajalah. Mereka
               sudah  terlalu  repot  dengan  kehidupan  sehari-hari  untuk  ditambahi  memperbaiki  jalan
               sepanjang  duapuluh  kilometer  itu.  Lagipula  desa-desa  sekitar  mereka  juga  menolak
               memperbaikinya, agar perambah  hutan tidak semakin  sembarangan masuk  membawa truk-
               truk yang akan mengangkuti kayu gelondongan hasil jarahan.
   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36