Page 33 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 33
www.rajaebookgratis.com
"HALLO! HALLO! PROFESOR—"
Ikanuri terdengar berteriak di seberang sana. Meningkahi berisiknya suara krsk telepon
genggam.
"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon. Hallo? Hallo? Ya,
kau dengar? Aku sejak tadi menelepon kau. Tidak ada sinyal, Dali. Sama sekali tidak ada.
Akhirnya justru kau yang menghubungi sekarang. Bah, sejak kapan kau memattkan HP
urusan keluarga?"
"Tadi di pesawat—"
"Apa? Hallo? Oo, pesawat—
Kau sudah di mana?"
Sinyal sambungan langsung internasional itu payah, putus-putus. Dengan jeda waktu
bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang
sana. Juga sebaliknya.
"Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar sialan semua urusan
ini—
Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS, bukan ITALIA,
PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari Roma. Sepakbola sialan ini
membuat semua penerbangan dari kota-kota di Italia penuh hingga dua hari ke depan.
Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS—"
Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan penerbangan besok pagi,
jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang
longsor. Tanahnya memenuhi jalanan kereta. Apa? Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS,
DALIMUNTE! APA? Oo-Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke
sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?"
Ikanuri entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju lobi depan
bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu sejak tiga jam lalu.
Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh satu jam. Tujuh jam berikutnya
dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan
yang menantang. Terpaksa tiga kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota
kabupaten. Satu kali lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan.
Terakhir naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak
perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh
lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!"
Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras,
"Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit Yashinta. Tidak ada
sinyal. APA? HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu! Tentu saja ia baik-baik saja,
Dalimunte—"
Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit berbarengan. Dalimunte
melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia juga sudah tiga kali mengontak HP
Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada sinyal.
"Mematikan HP? Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo Terakhir aku
ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng Semeru. Apa? Tentu tidak,
Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua
kali lebih atletis dibandingkan Kak Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIK-
BAIK SAJA, DALIMUNTE!"
Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu.
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.