Page 32 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 32

www.rajaebookgratis.com





                   Membicarakan  perselisihan  batas  ladang,  sepakat  memberikan  tanda  baru  untuk  setiap
               batas  kebun.  Jadwal  pengajian  mingguan.  Gotong-royong  perbaikan  tangga  kayu  di  cadas
               setinggi  lima  meter  sungai.  Sumbangan  rutin  buat  acara  besar  (Maulid,  Isra  Mi'raj).  Dan
               beberapa masalah kecil lainnya.
               "Masih ada yang ingin dibicarakan?"
               Dua jam berlalu sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung.
               Lengang sejenak.
               "Masih ada?"
               Wak Burhan bertanya sekali lagi.
                   Sepertinya sudah selesai. Tidak ada lagi yang hendak melaporkan sesuatu. Wak Burhan
               tersenyum, meraih pentungan dari bongkol bambu, bersiap menutup pertemuan. Saat itulah,
               saat  penduduk  kampung  menggeliat  santai  karena  pertemuan  sudah  selesai,  saat  mereka
               beranjak merapikan baju yang terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya
               ragu-ragu, tapi karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil
               menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi,
                   Muka-muka tertoleh.
                   Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai?
                   Mamak  Lainuri  mengernyitkan  dahi.  Kak  Laisa  yang  merasa  ganjil,  menyikut  bahu
               Dalimunte  yang  duduk  di  sebelahnya.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  sejak  tadi  hanya  jahil
               tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti cengirannya. Hanya
               mata Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu.
               "Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?"
               Wak  Burhan  meletakkan  palu  bonggol  kayunya.  Tersenyum  tipis.  Itu  janggal  sekali,
               pertemuan tahunan itu meski diikuti oleh seluruh penduduk kampung, hanya pria dewasalah
               yang bicara. Sisanya menonton.
               "Ergh, eee, iya Wak...."
               Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya.
               "Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte?"
               Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia mengenal sekali anak
               Lainuri yang satu ini. Rajin shalat berjamaah di surau. Masih anak-anak. Tapi siapa bilang
               dia masih anak ingusan umur dua  belas tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak
               Lainuri tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.
               "Ergh, sebentar—"
               Dalimunte  dengan  tangan  sedikit  bergetar  membawa  kertas-kertasnya  ke  depan.  Saking
               gugupnya, beberapa kertas berjatuhan. Dalimunte patah-patah mengumpulkannya.
                   Mamak Lainuri masih mengernyitkan dahi. Kak Laisa menatap lebih bingung. Buat apa
               kertas-kertas itu? Penduduk lain menunggu.
               "Ee, maaf kalau, maaf kalau—"
               Dalimunte mengusap dahinya.
               "Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!"
               Wak Burhan mengangguk mantap padanya.
                   Dalimunte  menelan  ludah.  Menatap  Kak  Laisa,  menatap  Mamak  Lainuri.  Menatap
               Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya. Lihatlah, adiknya
               dengan bola mata membulat penuh rasa ingin tahu balas menatapnya. Ekspresi  yang sama
               seperti setiap kali Yashinta diajak melihat anggrek hutan raksasa. Atau melihat pohon salak
               hutan. Atau melihat sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan
               Dalimunte  yang  tiba-tiba  berdiri  di  tengah  balai  kampung.  Yashinta  hanya  ingin  tahu.
               Baiklah,  Dalimunte  menekuk  ibu  jari  kakinya,  ini  semua  mudah.  Tersenyum  penuh
               penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta.
               Maka meluncurlah penjelasan itu—
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37