Page 36 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 36

www.rajaebookgratis.com





               membuat irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa
               itu gagal dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai
               dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat.
               Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh saat musim
               penghujan! —"
               Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.
                   Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan
               perambah  hutan  tadi.  Seruan-seruan  ragu-ragu,  seruan-seruan  sangsi,  meski  sekarang
               anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.
               "Tidak ada salahnya, bukan?"
               Laisa menatap sekitar.
               "Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?"
               Penduduk justru saling bersitatap.
               "Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"
               Kak  Laisa  berseru  dari  tengah-tengah  balai  kampung,  menghentikan  dengung  lebah  untuk
               kedua kalinya. Menatap tajam.
                   Muka-muka  masih  saling  bersitatap  satu-sama-lain.  Sedetik.  Dua  detik.  Dalimunte
               menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air
               itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat
               amat yakin dengan idenya.
               "Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"
               Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.
                   Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.
                   Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau
               tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa.
               Orang-orang  menoleh.  Wak  Burhan  menyusul,  ikut  megangkat  tangan  dengan  mantap,
               sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu
               kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.
                   Kak  Laisa  tertawa  lebar.  Menyikut  bahu  Dalimunte  yang  berdiri  di  sampingnya.
               Anggukan  dan  seruan  'kenapa  tidak'  sekarang  ramai  keluar  dari  mulut  penduduk.  Mereka
               akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
                   Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.
                   Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir
               air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari
               itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak.
               Belajar  langsung  dari  Kak  Laisa  yang  entah  bagaimana  caranya  menguasai  benar  hal
               tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang.
                   Dalimunte  mungkin  tidak  akan  pernah  tahu.  Tidak  pernah!  Kak  Laisa  sama  gugupnya
               seperti  dia,  sama  gentarnya  bicara  di  tengah-tengah  balai  kampung  itu.  Tetapi  Kak  Laisa
               tidak  akan  pernah  membiarkan  adik-adiknya  kecewa.  Tidak  akan  pernah  membiarkan
               adiknya  merasa  malu.  Jika  harus  ada  yang  kecewa  dan  malu,  itu  adalah  ia.  Bukan  adik-
               adiknya. Bagi Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas
               masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa
               Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan Dalimunte,
               keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu
               tenang.  Dan  tidak  hanya  hari  itu  Laisa  melakukannya.  Sungguh  tidak.  Ia  melakukannya
               berkali-kali sepanjang umurnya.
               Demi keempat adik-adiknya.
   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41