Page 39 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 39

www.rajaebookgratis.com





                   Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai
               Ikanuri dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih jago bicaranya, ngeles. Terlatih.
               Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah.
                   Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat  menuju perkampungan  Lembah  Lahambay.
               Melewati  hampir  tiga  ratus  kilo  perjalanan.  Kota-kota  kabupaten.  Kota-kota  kecamatan.
               Pedesaan.  Hutan-hutan  lebat.  Semak-belukar.  Pohon  bambu.  Perkebunan  kelapa  sawit.
               Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan.
               Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan
               di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.
                   Itu semua sebenarnya pemandangan  yang  menarik, sayang tidak untuk situasi  saat  ini.
               Juwita  dan  Delima  pun  sejak  separuh  perjalanan  akhirnya  lebih  banyak  tertidur.  Lelah
               bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan
               Wawak Laisa pas makan malam, padahal percuma juga mereka rebutan sekarang, toh Kak
               Intan biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu.
                   Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat.
                   Bagi mereka, urusan ini sederhana.

               13
               KAU BUKAN KAKAK KAMI
               OMELAN MAMAK LAINURI malam itu hanya mempan seminggu. Ikanuri dan Wibisana
               memang  rajin  sekolah,  sok  rajin  belajar,  shalat  di  surau,  lancar  ngajinya,  tidak  banyak
               bertingkah,  patuh  dengan  Kak  Laisa  selama  seminggu  terakhir.  Namun  lepas  satu  pekan,
               tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah malah.
                   Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung bergotong-royong
               membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte.
                     Lelaki  dewasa,  mulai  dari  orang  tua  hingga  pemuda  tanggung,  setengah  hari
               menghabiskan waktu di hutan, menebang belasan batang bambu besar-besar, setidaknya tak
               kurang  satu  jengkal  diameternya.  Setengah  hari  lagi  dihabiskan  untuk  memotong-motong,
               mengikatnya dengan tali rotan,  memakunya dengan pasak  besi.  Wak Burhan dua hari  lalu
               juga memutuskan menggunakan uang kas warga kampung, membelinya di kota kecamatan,
               beserta semen dan keperluan pondasi lainnya.
                   Sementara   ibu-ibu   dan   gadis   tanggung   membantu meyiapkan kue-kue kecil macam
               serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta pula makan siang. Meski seadanya, hanya dengan
               sayur  terong  dan  sambal  terasi,  tapi  setelah  lelah  bergotong-royong  seperti  ini,  makan
               sepiring  nasi  yang  masih  mengepul  terasa  nikmat  nian  walau  tanpa  lauk.  Apalagi  mereka
               mengerjakan kincir air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas
               bebatuan sambil menyantap makan siang.
                   Jika sudah sampai sejauh ini, maka tak ada lagi yang sibuk bertanya apa semuanya akan
               berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi). Maka sesiang itu, Dalimunte sibuk membentangkan
               kertas-kertas  miliknya,  sibuk  menjelaskan  bagan  konstruksi  yang  telah  dibuatnya.
               Sebenarnya ganjil sekali melihatnya, lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan
               lelaki   dewasa    lainnya.   Wajah-wajah     yang   mengangguk-angguk       mendengarkan
               penjelasannya, tidak banyak bicara.
                   Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah itu berkumpul di pinggir sungai.
               Semua  bekerja,  membantu.  Tak  terkecuali  Yashinta,  ia  membantu  mengangkut  bebatuan
               dengan  keranjang  rotan,  bakal  pondasi  kincir.  Anak-anak  kecil  lainnya  juga  sibuk
               mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipa-
               pipa'. Jika pun tidak ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai
               sambil bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu sama
               lain bertengkar).
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44