Page 43 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 43
www.rajaebookgratis.com
"APA KAU BILANG? AYO, PULANG!"
"TIDAK MAU!" Ikanuri melotot.
Dua ekor burung pipit terbang rendah di bawah pohon mangga itu. Mendesing menjauh
mendengar keributan.
"Kami tidak mau pulang. Tidak mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus
menurut!"
Ikanuri mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras.
Kalimat itu benar-benar membungkam waktu. Selaksa senyap di bawah pohon mangga.
Seekor elang melenguh di atas sana, suaranya seperti dibatukan udara. Terdiam. Laisa
sempurna membeku.
"A-pa.... A-pa yang kau katakan?"
"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut"
Ikanuri mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri, malah.
Melawan semakin berani.
"LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti
kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN
KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"
Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang yang
sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebar-lebar, hitam pekat. Laisa
terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya.
Apa ia sungguh tak salah dengar? Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting
bergetar, terlepas.
"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?"
Ikanuri tanpa rasa iba bertanya bengis.
Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon, jangan pernah,
jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan pernah! Itu akan membuat
mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya kencang-kencang. Berusaha
mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di tubuhnya.
"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN!"
Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.
"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata.
"Kau bukan kakak kami!"
"Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan dihukum tidak boleh
masuk rumah selama seminggu,"
Laisa berkata dengan suara bergetar. Menahan tangis.
"Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan Ikanuri—"
"Pendek! Pendek!"
"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "
"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!"
Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai
penuh kemenangan, disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa
ganjil dengan teriakan kasar Ikanuri).
Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung adik-adiknya
yang menghilang dari balik semak belukar.
Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik.
Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap
wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena
toh selama ini Ikanuri selalu berani melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang