Page 47 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 47

www.rajaebookgratis.com





                   Laisa  menggigit  bibir.  Mengusap  wajahnya  berkali-kali.  Gelisah  melihat  sekitar.  Ia
               sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adik-adiknya. Ya Allah… Ini
               semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara dibilang akan dihukum tidak boleh
               masuk  rumah,  harus  tidur  di  bale  bambu,  bawah  rumah.  Apakah  ia  harus  menceritakan
               pertengkarannya ke Mamak? Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi
               kalau terjadi kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga
               mereka hanya bermalam di desa atas.
                   Gemerlap  bintang  di  atas  entah  kenapa  pelan  mulai  diselimuti  gumpalan  awan  hitam.
               Seperti  menambah  tinggi  tingkat  kecemasan.  Hening.  Mencekam.  Sudah  pukul  22.00.
               Lembah  itu  mulai  hening.  Suara  jangkrik  berderik  pelan  mereda.  Uhu  burung  hantu.
               melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak matang. Satu jam berlalu.
                   Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor.
                   Hasilnya kosong—
                   Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu.
               "Hati-hati... Tetap dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—"
               Wak Burhan berkata dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa
               yang sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk
               "Saat pijar matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat membungkus
               lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai dapat. Periksa seluruh semak
               belukar, jangan sampai ada yang tertinggal. Pastikan kalian mengenali bercak darah...."
                   Mamak  Lainuri  yang  sudah  siuman  mengeluh  tertahan.  Kalimat  Wak  Burhan,  kalimat
               terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang masih hidup. Bercak darah….
               "Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari rombongan. Sang siluman mungkin masih
               mencari korban berikutnya...."
                   Balai kampung  itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan  ludah.  Nama  itu akhirnya
               tersebutkan  sudah.  Sang  Siluman.  Laisa  sudah  menggigil  ketakutan.  Wak  Burhan
               memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua rombongan bergerak meninggalkan
               bangunan.  Rombongan  membawa  obor  itu  menghilang  di  tengah  gelapnya  hutan  rimba
               seberang cadas lima belas menit kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
               "Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?"
               Dalimunte  bertanya  mencicit.  Cemas.  Dari  tadi  ia  tidak  bisa  memejamkan  mata.  Tegang.
               Sementara Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu balai
               kampung.
                   Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak   kuasa mengangguk.
                   Delapan tahun... delapan tahun silam.
                   Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan
               persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan
               rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah
               tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan
               harimau Gunung Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan
               Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.
                   Hari itu, babak mereka pergi —
                   Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari kumbang bersama dua
               temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak  jauh. Tapi entah apa pasalnya, rombongan
               mereka  terpisah.  Dua  temannya  panik.  Pulang,  segera  melapor. Tidak  ada  yang  mengerti,
               bagaimana mungkin mayat Babak justru ditemukan jauh sekali dari cadas sungai. Masuk ke
               dalam hutan rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu?
               Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana?
               Seruan-seruan ganjil terdengar,
   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52