Page 52 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 52

www.rajaebookgratis.com





               hitam.  Ikanuri  dan  Wibisana  membeku  sudah.  Tidak  bisa  menggerakkan  tubuh  lagi.
               Menggigil.
                   Satu detik. Satu meter lebih dekat.
               "RRRRR-"
                   Lima detik. Tinggal lima meter.
                   Sepuluh detik. Tiga ekor harimau itu berhitung dengan situasi, mengukur bagaimana cara
               terbaik  menerkam  Ikanuri  dan  Wibisana.  Waktu  benar-benar  berjalan  lambat,  untuk  tidak
               bilang seperti terhenti. Aroma kematian menggantung pekat di langit-langit hutan.
                   Hanya soal kapan—
                   Hanya soal detik—
                   Saat Ikanuri dan Wibisana hampir jatuh pingsan, ketakutan. Saat harimau terbesar yang
               berada paling dekat bersiap meloncat. Saat itulah Kak Laisa menunaikan janjinya.
               "TIDAK! TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan tubuh harimau terbesar itu terhenti.
               "TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN MEREKA!"
               Kak Laisa, entah apa yang ada di kepalanya, yang sedetik baru tiba di sana, sedetik terpana
               menyaksikan pemandangan di depannya, tanpa berpikir panjang, seperseribu detik langsung
               loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya terlihat begitu tegang. Ia
               sungguh gentar. Ia  sungguh ketakutan. Siapa pula  yang tidak  akan  jerih  melihat tiga ekor
               harimau dari jarak dua meter tanpa penghalang? Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-
               adiknya membuat Laisa menyeruak, nekad masuk ke  kematian.
                   Mengacung-acungkan obornya ke depan.
                   Tiga  harimau  itu  mundur  satu  langkah.  Menahan  terkaman.  Sedikit  jerih  melihat  obor
               Laisa. Ekor mereka bergerak. Berhitung dengan situasi baru.
               "RRRRR-"
               Harimau  -harimau  itu  menggerung  lagi.  Amat  menakutkan.  Tubuh  mereka  yang  hampir
               sebesar anak sapi itu terlihat lebih jelas, tertimpa cahaya obor Kak Laisa. Kerlap-kelip. Kulit
               yang tebal, mengkilat. Wajah, taring, cambang, sungguh menakutkan.
               "Puyang tidak boleh memakan mereka... Laisa mohon. tidak boleh—"
               Kak Laisa mencicit, berkali-kali mengibas-ngibaskan obornya.
               "RRRR-"
               "Pergilah Ikanuri, Wibisana. Pergi dari sini! PERGI!"
               Kak  Laisa  mendorong  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  pucat  pasi  di  belakangnya.  Sementara
               wajah Kak Laisa terus bersitatap dengan harimau-harimau itu. Menjaga segala kemungkinan.
                   Gerungan  terdengar  semakin  keras.  Tiga  harimau  itu  mengambil  posisi  baru.  Tidak
               masalah. Empat mangsa lebih baik dari dua.
               "Dali, bawa adik-adikmu lari.... LARI!!"
               Kak Laisa berseru panik. Situasinya semakin mencekam. Harimau-harimau kembali bersiap.
               Dalimunte yang menatap ketakutan dari balik semak mendecit.
               "Dali, CEPAT! Bawa adik-adikmu lari!"
               Kak Laisa membentak. Suaranya parau. Panik. Mereka tidak punya waktu lagi.
                   Gemetar  Dalimunte  masuk  ke  dalam  lingkaran,  patah-patah  menarik  tubuh  membeku
               Ikanuri  dan  Wibisana  ke  luar.  Laisa  terus  menatap  tiga  ekor  harimau  itu.  Menelan  ludah.
               Mencoba menahan mereka dengan obor yang teracung.
               "RRRRR-"
               "Dali, bilang Mamak, bilang Mamak, Lais pergi—
               "RRRRR-"
               "Dali, bilang Mamak, maafkan Lais—"
               Kak  Laisa  berkata  dengan  suara  semakin  serak.  Ia  tahu,  malam  ini  harimau-harimau  ini
               membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang menggantikan adik-adiknya.... Ia tahu,
   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57