Page 53 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 53

www.rajaebookgratis.com





               waktunya  sudah  selesai.  Biarlah  begitu.  Biar  ia  yang  menahan  mereka  sementara  adik-
               adiknya berlari....
                   Suara gerungan itu tiba di puncaknya.
                   Kepala-kepala menakutkan itu terangkat siap menerkam.
                   Laisa  dengan mata bercahaya,  buncah  oleh  air mata menatap ke depan. Menunggu.
               Bersiap. Sementara Dalimunte yang sedikit pun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan
               Kak  Laisa,  tunggang  langgang  menarik  tubuh  Ikanuri  yang  sempat terjatuh,  mereka  harus
               kabur sesegera mungkin dari situ.
                   Seperseribu detik berlalu. Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang
               bersitatap  dengan  mata  Laisa,  tiba-tiba  bergoyang.  Harimau  itu  menggerung  keras.  Laisa
               menggigit bibir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia sudah siap.
                   Tapi hei, kenapa? Kenapa belum ada satu pun harimau yang menerkamnya? Dua detik.
               Tetap begitu. Tiga detik? Tidak ada yang bergerak. Wahai, apa yang telah terjadi?
                   Keajaiban  itu!  Hanya  kuasa  Allah  yang  tahu  apa  yang  sesungguhnya  sedang  terjadi
               malam  itu,  sang  siluman  entah  oleh  kekuatan  apa  mendadak  mengurungkan  niatnya
               menerkam  tubuh  pasrah  Laisa.  Lima  detik  berlalu,  harimau  terbesar  setelah  sekali  lagi
               menggerung  lebih  keras,  perlahan  melangkah  mundur.  Memberikan  perintah,  memutar
               tuhuhnya.
                   Pergi. Dua harimau lainnya mengikuti.
                   Dalimunte yang terjerambab di semak belukar setelah berlari sepuluh langkah bersama
               adik-adiknya menatap kosong tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di atas tubuh-
               tubuh mereka yang terjerambab.
                   Begitu saja—
                   Lima detik. Lima belas detik.
                   Senyap. Hening.

               16
               SEJUTA KUNANG-KUNANG
               BAGI penduduk di lembah itu, legenda tentang harimau Gunung Kendeng selalu diwariskan
               dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mungkin dulu sengaja dibuat begitu agar penduduk
               kampung tidak berani merambah wilayah berbahaya tersebut. Cerita itu juga dikisahkan ke
               anak-anak agar mereka tidak sejahil dan segampang Ikanuri dan Wibisana yang bebal justru
               melintasi sarang harimau. Atau setidaknya membuat anak-anak yang susah disuruh tidur dan
               banyak merengek segera beranjak naik ke atas dipan.
                   Alkisah,  di  lembah  dan  gunung  itu,  ratusan  tahun  silam  bangsa  harimau  dan  manusia
               hidup  damai  berdampingan.  Penduduk  lembah  tidak  mengganggu  mereka,  harimau  juga
               sebaliknya.  Itu  perjanjian  tak  tertulis  para  leluhur.  Hingga  pada  suatu  ketika,  masa-masa
               berdamai itu berakhir oleh sebuah kejadian. Salah seorang penduduk kampung yang berburu
               di dalam hutan tidak sengaja masuk ke wilayah terlarang. Entah apa pasal, pemburu itu malah
               menombak  seekor  anak  harimau.  Maka  rusaklah  perjanjian  tersebut.  Kelompok  harimau
               meminta  ganti  rugi.  Nyawa  ditukar  nyawa.  Tapi  penduduk  kampung  menolak.  Mereka
               menolak menyerahkan pemuda yang melakukan kesalahan tersebut.
                   Kelompok harimau gunung memutuskan balas dendam. Maka terjadilah pertikaian. Lebih
               banyak  lagi  harimau  yang  mati  terbunuh.  Suatu malam,  sekelompok  harimau  yang  tersisa
               mengambil  belasan  anak-anak  kecil  dari  kampung  secara  diam-diam  sebagai  ganti-rugi.
               Bertahun-tahun  tidak  ada  yang  tahu  ke  mana  anak-anak  itu  menghilang.  Sebagian  bilang
               mereka berubah jadi harimau. Sebagian yang lain bilang dijadikan tumbal. Yang pasti sejak
               hari itu, manusia dan harimau di lembah dan gunung terus saling menyerang.
                   Atas kejadian  itu, harimau kemudian disebut sang siluman, karena  mencuri  sembunyi-
               sembunyi anak kecil. Sejak hari itu juga, kata-kata puyang (atau kakek) disematkan kepada
   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58