Page 57 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 57
www.rajaebookgratis.com
Menatap wajah Laisa yang tersenyum lebih lebar. Wajah Yashinta yang berdiri dengan
teman-teman sepantarannya. Ikut berteriak-teriak riang meski mereka tidak mengerti benar.
Menatap wajah Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung bebal itu bersama anak-anak tanggung
lainnya ikut melompat ke inang sungai, ikut menyirami Dalimunte dengan air. Tertawa-tawa.
Benar-benar melupakan kejadian heboh seminggu lalu. Pagi ini, kabar baik memenuhi langit-
langit lembah. Engkau sungguh pemurah, Rabb. Wak Burhan memasang topinya. Berteriak
menyuruh mereka mulai bekerja. Hari ini mereka harus menyelesaikan sambungan pipa-pipa
bambu sepanjang satu kilo. Dengan begitu, ladang-ladang mereka mulai bisa diairi. Dengan
begitu, lepas panen bulan depan, mereka langsung bisa mengolah tanah lagi. Tidak perlu
menunggu musim penghujan, Sekarang, nasib mereka berada di tangan mereka sendiri.
Tujuh puluh tahun tinggal di kampung itu, tidak pernah Wak Burhan merasakan
antusiasme hidup yang begitu hebat. Meski baru seminggu lalu dia seperti kembali melihat
hantu masa lalunya. Tapi itu tidak terjadi. Kecemasan kembali terulangnya kejadian delapan
tahun silam tidak terbukti. Saat mereka benar-benar putus-asa, mulai berangsur pulang
setelah lelah menelusuri hutan rimba, saat bersiap melaporkan kejadian itu ke polisi di kota
kecamatan, saat tiba di balai kampung, Ikanuri dan Wibisana justru ditemukan sudah
berbaring kelelahan, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha memberikan minum.
Laisa dan Dalimunte terbata menceritakan apa yang terjadi. Satu patah, dua kali helaan
nafas. Mereka juga lelah. Naik turun Gunung Kendeng bukan urusan mudah, apalagi dalam
situasi buruk seperti itu. Maka cerita mereka hingga kapanpun, mungkin tak akan pernah
terlupakan. Mungkin berpuluh-puluh tahun ke depan tetap dikenang penduduk kampung.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, kenapa tiga harimau itu urung menerkam Laisa. Satu
dua bilang mungkin harimau itu sudah kenyang, habis memangsa babi liar. Satu dua bilang
harimau itu mungkin takut dengan obor api. Satu dua berseru, mungkin harimau itu lagi sakit
gigi. Semakin dibicarakan, semakin ngaco seruan-seruan penduduk.
Malah ada yang menduga mungkin karena Laisa mewarisi Jurus Pesirah, ilmu silat
mengendalikan harimau yang konon dulu pernah dikuasai leluhur mereka. Atau mungkin
pula harimau itu takut melihat mata melotot Laisa, bukankah minggu lalu saat Laisa galak
berseru-seru soal ide lima kincir di balai, pemuda kampung saja jerih melihatnya, nah,
apalagi harimau itu. Entahlah. Laisa tidak banyak berkomentar, ia hanya bilang ia juga takut
malam itu, tapi apalagi yang harus dilakukannya? Ia tidak punya pilihan selain melindungi
adik adiknya. Tidak sempat berpikir panjang.
Hanya Dalimunte yang bisa memberikan penjelasan lebih masuk akal. Itu pun setelah
Dalimunte sudah sekolah di kota provinsi, mulai tenggelam dengan kecintaannya atas buku-
buku. Kata Dalimunte pada suatu kesempatan saat mereka berkumpul, berdasarkan buku-
buku yang dibacanya, binatang meski tidak memiliki akal-pikiran tapi mereka memiliki
insting, naluri. Perasaan. Mereka bisa menyayangi anak-anaknya, melindungi sarangnya, tahu
kerabatnya sedang dalam bahaya, sakit, dan sebagainya. Sehingga mereka, meski tidak
seintens manusia dalam menerjemahkan perasaannya, dalam kondisi tertentu, bisa mengerti
binatang lain, bisa mengerti komunikasi perasaan dengan mahkluk yang tidak sejenis
dengannya.
Itulah yang terjadi malam itu. Harimau yang paling besar, yang paling menakutkan,
meski selintas, meski sekejap, dari tatapan matanya ke Kak Laisa, ia akhirnya tahu betapa
Kak Laisa mencintai adik-adiknya. Betapa Kak Laisa siap mengorbankan hidupnya demi
adik-adiknya. Harimau itu mengerti. Lantas memutuskan pergi. Itu penjelasan Dalimunte
kepada Intan yang beranjak sekolah dan sibuk bertanya saat mereka berkumpul bersama
mengenang kejadian itu di perkebunan strawberry. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat
Intan, Juwita, dan Delima terdiam, lantas menatap terpesona pada Wak Laisa.
Menjelang senja, saat matahari bersiap menghujam di balik puncak Gunung Kendeng,
pipa-pipa bambu sudah tersambung rapi. Diperlukan 76 batang bambu untuk mencapai