Page 60 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 60

www.rajaebookgratis.com





                   Kak Laisa tak sedikitpun terlihat sakit. Riang meladeni Intan, Juwita dan  Delima yang
               bertengkar memperebutkan foto Tante Yashinta. Galak meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang
               selalu  saja  jahil  entah  melakukan  apa  kepada  anak-anak.  Meladeni  Ikanuri  dan  Wibisana
               yang masih saja suka mengganggu Kak Laisa dengan celetukan-celetukan. Tertawa. Bermain
               kembang api bersama anak-anak kampung. Membuat langit lembah bercahaya oleh gemerlap
               nyala kembang api. Membakar jagung di halaman rumah bersama tetangga-tetangga.
                   Kak Laisa tidak berubah sedikit pun, persis seperti melihat foto masa lalunya, hanya saja
               sekarang piguranya terlihat kecokelatan. Umurnya sekarang empat puluh tiga. Tapi ia masih
               sama disiplinnya, terus bekerja keras mengurus kebun, mengurus Mamak, mengurus pabrik
               pengalengan, mengurus sekolah di lembah, mengurus apa-saja. Melakukan banyak hal. Masih
               sama atletisnya, masih dengan tubuh gemuk tapi gempalnya. Padahal kalau Kak Laisa ingin
               duduk-duduk santai,  tidak masalah. Pabrik itu punya belasan pekerja. Warga dari kampung
               atas  dan  seberang.  Juga  turut  bekerja  di  perkebunan  beberapa  insinyur  pertanian  lulusan
               institut pertanian kota provinsi.
                   Sekarang? Ya Allah, bagaimana mungkin seluruh rumah terlihat seperti sedang bersiap
               melepas  kepergian  seseorang.  Yasin  yang  dibacakan?  Warga  yang  berkumpul?  Dalimunte
               menggigit bibir, sakit apa sebenarnya Kak Laisa?
                   Dalimunte tidak tahan lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa.
                   Terhenti. Langkahnya terhenti seketika persis di bawah bingkai pintu.
                   Lihatlah! Ya Allah, apa maksud semua ini?
                   Kamar  Kak  Laisa  penuh  dengan  peralatan  medis.  Selang  infus,  belalai-belalai  plastik.
               Layar bertuliskan garis-garis hijau. Alai-alat bantu lainnya. Tabung oksigen. Masker. Kaki
               Dalimunte  bergetar.  Matanya  mencari  di  sela-sela  peralatan  medis  yang  pasti  didatangkan
               dari  rumah-sakit  kota  provinsi.  Mata  Dalimunte  akhirnya  menemukan  sosok  itu.  Menatap
               nanar tubuh besar (tapi pendek) itu. Yang terbaring lemah di atas ranjang. Mamak Lainuri
               duduk di sebelahnya, menoleh karena mendengar seruan-seruan dari luar.
                   Mamak bertanya lirih. Siapa yang telah tiba? Dalimunte—
                   Dalimunte justru sudah terpaku bersitatap dengan mata redup Kak Laisa.

               18
               MEYIMPANNYA SENDIRIAN
               YASHINTA mematut-matut di depan cermin.
                   Menyeringai sendiri. Tersenyum amat lebar. Lihat. Ayo lihat, Yash pagi ini mengenakan
               seragam merah-putih. Mamak membelikan dari kota kecamatan. Sebenarnya baju itu dibeli di
               pasar loak, baju bekas, tapi itu tidak penting. Yash juga tahu, kok. Hatinya sedang senang.
               Semalam  berkali-kali terbangun. Pukul  sepuluh, sebelas, dua belas, satu, dua, tiga, sampai
               Kak Laisa mendengus jengkel, karena setiap kali Yashinta terbangun, ia menarik-narik baju
               gombyor Kak Laisa, berisik bertanya jam berapa sekarang.
                   Menunggu pagi seperti menunggu waktu seribu bulan, tak sabaran. Maka saat akhirnya
               kokok ayam hutan akhimya terdengar dari kejauhan, Yashinta semangat langsung mandi di
               sungai. Ini hari pertama sekolahnya. Bukan main. Rasanya susah dijelaskan. Lihatlah muka
               imut Yashinta bersenandung riang. Memasukkan buku tipis ke dalam tas, pensil yang sudah
               diraut, penggaris bambu. Crayon 12 warna dari Kak Ikanuri dan Kak Wibisana. Lantas sudah
               duduk rapi di meja makan. Siap untuk sarapan.
                   Ikanuri  dan  Wibisana  hanya  nyengir  melihat  kelakuan  Yashinta.  Bagi  mereka  tingkah
               Yashinta  mirip  sekali  dengan  mahkluk  planet  lain.  Mana  ada  coba  penduduk  bumi  yang
               semangat  seperti  adiknya  berangkat  sekolah.  Tapi  Dalimunte  tidak,  dia  tersenyum  lebar,
               menyeringai  membesarkan  hati  Yashinta,  yang  justru  saat  sudah  siap  berangkat  bersama-
               sama malah gugup, mendadak sakit perut.
   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64   65