Page 65 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 65

www.rajaebookgratis.com





               "Mamak kau tidak datang, Lais?" Wak Burhan bertanya.
               "Yash masih wakit, Wak—"
               Laisa menjawab pendek. Mengambil tempat duduk bersama adik-adiknya. Balai kampung itu
               sudah  ramai.  Obor-obor  membuat  ruangan  terang-benderang.  Angin  yang  menerobos
               membuat cahaya obor bergoyang, kerlap-kerlip.
                   Di  depan  sana  berjejer  enam  orang  mahasiswa  yang  dua  hari  ini  sibuk  disebut-sebut
               warga  kampung.  Laisa  menatapnya  lamat-lamat.  Mengesankan  melihat  kakak-kakak
               mahasiswa itu. Mengenakan jaket kuning. Mahasiswa Universitas kota besar dari seberang
               pulau.  Yang  wanita  terlihat  cantik  dan  cerdas.  Yang  lelaki  terlihat  gagah  dan  pintar.
               Tersenyum lebar, percaya diri menatap sekitar. Mengangguk. Laisa menelan ludah. Dulu ia
               pernah  bermimpi  menjadi  seperti  ini.  Bermimpi  melihat  dunia  luar  yang  lebih  luas.
               Kesempatan yang lebih lapang, yang lebih besar dibanding Lembah Lahambay ini. Ah, itu
               mimpinya  enam  tahun  silam.  Usianya  sudah  tujuh  belas  sekarang,  sudah  amat  terlambat
               untuk  melanjutkan  sekolah  kelas  empatnya.  Ia  sudah  mengubur  cita-cita  itu  dalam-dalam.
               Lagipula  jika  ia  sekolah,  siapa  yang  akan  membantu  Mamak  mencari  uang  buat  adik-
               adiknya?
                   Wak Burhan mengetukkan palu bonggol bambu, pertemuan dimulai. Enam mahasiswa ini
               berbicara  lantang.  Tegas.  Meyakinkan.  Salah  satu  dari  tiga  mahasiswa  lelaki  bicara  soal
               konstruksi kincir air. Memuji-muji penduduk kampung yang telah membuatnya, lantas sama
               seperti  Dalimunte  dulu,  dia  juga  membawa  kertas-kertas.  Membentangkannya  lebar-lebar.
               Bicara tentang listrik. Lampu-lampu. Kincir air itu bisa dijadikan generator listrik. Dalimunte
               menjadi orang yang paling tertarik atas rancangan itu. Mengangkat tangannya berkali-kali,
               bertanya. Penduduk kampung juga terpesona. Apalagi dijanjikan ada bantuan soal dinamo,
               kabel-kabel, peralatan instalasi, dan lainnya dari universitas. Wak Burhan tak butuh waktu
               semenit  untuk  mengetukkan  palunya.  Proyek  KKN  listrik  kincir  air  itu  disetujui.  Minggu
               depan mereka mulai bergotong-royong,
                   Dua  mahasiswa  lainnya, cowok-cewek, mungkin berasal dari  fakultas pertanian,  bicara
               soal  ladang-ladang  mereka.  Bibit  yang  digunakan.  Pengolahan  tanah.  Rotasi  tumbuhan.
               Lantas  ujung-ujungnya:  jadwal  penyuluhan.  Penduduk  Lembah  mengangguk-angguk.  Wak
               Burhan  mengetuk  palu;  dengan  demikian  setiap  malam  Kamis  dan  Sabtu  ada  penyuluhan
               pertanian di balai kampung. Meski program KKN yang satu ini tidak sekongkret listrik, tapi
               penduduk  kampung  bisa  menerimanya.  Setidaknya  janji  ada  penganan  kecil  dan  sekoteng
               hangat setiap jadwal penyuluhan sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka hadir.
                   Dua  mahasiswa  berikutnya  menjelaskan  tentang  kemandirian  ekonomi.  Nah,  yang  ini
               benar-benar  membuat  penduduk  kampung  pusing.  Koperasi.  Simpan-pinjam.  Kesempatan
               kredit.  Akses  modal.  Bahkan  Dalimunte  saja  yang  sejak  tadi  antusias  mendengarnya,
               menguap  lebar-lebar.  Juga  ada  jadwal  penyuluhan.  Wak  Burhan  bilang  cukup  seminggu
               sekali, malam Selasa. Jadwal mereka sudah penuh. Sebenarnya sih, Wak Burhan kalau bisa
               malas memberikan jadwal untuk penyuluhan yang satu ini.
                   Dua mahasiswa itu berunding. Lantas mengangguk.
                   Malam  beranjak  matang.  Pukul  22.00,  sudah  larut  untuk  ukuran  penduduk  lembah.
               Mereka  biasanya  beranjak  tidur  pukul  sembilan.  Jadi  mahasiswa  terakhir,  demi  melihat
               penduduk  kampung  sudah  tidak  terlalu  memperhatikan,  hanya  sempat  bicara  lima  belas
               menit. Bicara soal sanitasi. Kebersihan. Posyandu. Pemeriksaan kesehatan. Bilang ada posko
               kesehatan  di  kampung  atas.  Yang  bisa  dimanfaatkan  warga  setempat  untuk  berobat.  Lima
               belas menit tepat, penjelasannya selesai. Kabar baik, ternyata tidak ada jadwal penyuluhan
               untuk yang satu ini. Wak Burhan mengetuk palu.
                   Pertemuan usai.
                   Lepas pertemuan, Laisa berusaha mendekati mahasiswa wanita yang bicara terakhir, ingin
               minta  tolong  periksa  Yashinta  yang  sedang  sakit.  Tapi  karena  di  luar  guntur  berkali-kali
   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70