Page 63 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 63

www.rajaebookgratis.com





               "Kau anak lelaki. Di keluarga ini anak lelaki tidak boleh menangis"
               "Tapi  kenapa  Kak  Lais  menyimpannya  sendirian....  Kenapa  Kak  Laisa  tidak  bilang  kalau
               selama  ini  sakit? Ya  Allah,  selama  itu. Bahkan  Kak Lais  menyimpan semuanya  sendirian
               selama ini.... Sejak kami kecil, sejak kami masih nakal suka membantah—"
               Dalimunte tergugu.
               Mamak ikut menyeka sudut matanya. Cie hui, mendekap Intan yang entah mengapa juga ikut
               tertunduk.  Intan  menggigit  bibir.  Bingung.  Cemas.  Ia  keliru,  ternyata  Wak  Laisa  sakitnya
               tidak  sekadar  mencret-mencret.  Aduh,  kalau  kelihatannya  sudah  begini  itu  artinya  serius
               sekali. Lihat, Wak Laisa batuk lagi, terus ada darah pula keluar dari bibirnya.
               "Ingat kata Kakak dulu saat kau berangkat sekolah di kota provinsi, tidak  ada  yang  boleh
               menangis,  kau  akan  menemukan  tempat-tempat  baru,  teman-teman  baru,  kau  akan  belajar
               banyak.... Hei, tidak ada yang boleh menangis dengan semua kabar baik itu. Juga hari ini....
               Lihatlah, kau amat membanggakan Kakak—"
               Kak Laisa terbatuk pelan. Dahak sekali lagi keluar bersama darah.
                   Dalimunte menyeka darah itu dengan jemarinnya. Semakin tergugu. Bagaimana mungkin
               dia  tidak  akan  menangis?  Lihatlah,  seseorang  yang  amat  dihargai  sepanjang  hidupnya
               berbaring  lemah  di  hadapannya,  tetap  sama  seperti  dulu.  Memberikan  perlindungan.
               Memberikan  janji-janji  yang  selalu  ditunaikan.  Mengubur  cita-citanya  sendiri  demi  adik-
               adiknya.  Bahkan  hingga  saat  ini,  ketika  tubuhnya  terlihat  amat  lemah,  Kak  Laisa  tetap
               berusaha tersenyum menyuruhnya tidakk menangis.
               "Kak  Lais  selalu  menyimpannya  sendirian,  demi  kami....  Kak  Lais  selalu  mengalah,  demi
               kami—" Kalimat Dalimunte terhenti, dia tak kuasa melanjutkan hanya bisa mencium jemari
               tangan yang terkulai lemah itu. Berbagai kenangan masa lalu berdesing memenuhi kepalanya.
               "Kak Lais bekerja sepanjang hari membantu Mamak demi kami, Kak Lais mempermalukan
               diri demi kami, Kak Lais bahkan menerobos hujan deras, tidak peduli dingin, jemari tangan
               menggigil demi kami..."
               Dalimunte tidak bisa menahan lagi perasaannya. Dulu saja, waktu kecil ia sudah mengerti.
               "Dali…, tidak ada yang boleh menangis—"
               "Ta-pi, tapi Dali tidak tahan lagi. Dali tidak tahan—"
               "Kemarilah, anakku...."
                   Mamak berbisik lirih dari belakang.
                   Dalimunte memeluk pinggang Mamak.
                   Senyap. Hanya tangis tertahan di ruangan itu. Dokter perkebunan yang sejak sebulan lalu
               merawat Kak Laisa  menatap dengan  mata berkaca-kaca. Intan  ikutan  menyeka pipinya. Ia
               tidak  tahu  kenapa  ikut  menangis.  Ia  sedih,  sedih  sekali  melihat  Wak  Laisa  yang  kuat
               menggendongnya naik turun cadas sungai, sekarang pucat pasi, bergerak saja susah di atas
               ranjang.  Mamak  mengusap  rambut  Dalimunte,  berbisik  menenangkan.  Wajah  keriput
               berumur enam puluh tahun itu terlihat amat sendu. Ia-lah yang paling tahu urusan ini. Sejak
               tiga puluh tahun silam. Sejak Laisa mulai mengerti arti tanggung-jawab.
                   Umur  Laisa  saat  itu  sebelas  tahun.  Kelas  empat  Umur  Dalimunte  tujuh  tahun.  Sudah
               setahun Dalimunte tertunda sekolah karena Mamak tidak punya uang. Mamak ingat sekali.
               Hari itu. Pagi itu. Laisa mendekatinya dari belakang. Pukul empat shubuh. Saat Mamak sibuk
               memasak gula enau. Saat yang lain masih tertidur lelap.
               "Biar. Biar Lais yang berhenti sekolah, Mak..."
               Putri sulungnya tersenyum tulus, menatap dengan mata bercahaya.
               "Kau harus terus sekolah, Lais!"
               Mamak menatap tajam Laisa.
               Menggeleng, "Lais tahu Mamak tidak punya cukup uang untuk membeli seragam baru Dali.
               Biar Lais yang berhenti sekolah.  Lagipula  Lais  anak perempuan.  Buat  apa  Lais sekolah
   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68