Page 62 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 62

www.rajaebookgratis.com





               "Ada yang KKN-"
               "Eh, iya, KKN, Mak. Gurunya dari KKN." Yashinta, memotong kalimat Dalimunte,
               "KKN itu dari mana ya, Kak?"
                   Yashinta duduk menjeplak di sekitaran  mereka. Teduh di bawah batang jagung, jadi ia
               tidak  perlu  sendirian  di  pondok  yang  terletak  di  tengah-tengah  ladang.  Menyeka  keringat
               yang  mengucur  tambah  deras.  Gerah.  Tubuhnya  terlihat  lekat.  Mamak  mengangguk,  ia
               mengerti.  Seminggu  lalu  Wak  Burhan  juga  bilang  soal  itu.  Katanya  ada  rombongan
               mahasiswa dari kota provinsi. Posko mahasiswa itu ada di kampung atas, tapi beberapa dari
               mereka juga akan melakukan beberapa proyek KKN di kampung bawah. Jarang-jarang ada
               pendatang dari kota di lembah itu. Dulu pernah ada Mahasiswa yang juga KKN, tapi program
               mereka kebanyakan hanya penyuluhan dan ceramah.
               Dulu-dulunya juga pernah ada pejabat entah dari mana yang datang ke Lembah. Lebih tak
               jelas  lagi  apa  gunanya  mereka,  hanya  nanya-nanya,  membawa  kertas,  entahlah.  Tanpa
               sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi penduduk kampung.
               "Ikanuri, Wibisana, menebas rumputnya yang benar!"
               Kak Laisa mendelik, menatap tajam Ikanuri dan Wibisana.
               "Sudah benar, kan?"
               Ikanuri nyengir. Sejak tadi dia dan Wibisana tidak medengarkan percakapan. Asyik bermain-
               main dengan arit.
               Kak Laisa melotot, benar apanya, kedua sigung nakal itu seperti membuat lajur-lajur di atas
               gulma. Sengaja membuat huruf nama-nama mereka, seperti bonsai berbentuk huruf di taman-
               taman. Membuat tulisan: Ika-Wibi Keren.
               "Lagian biar nyeni, Kak! Artistik—" Wibisana tertawa.
                   Kak Laisa melotot, mengancam. Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Yaah, kan hanya
               bergurau, nanti-nanti bakal dipangkas juga semuanya. Nanti-nanti maksudnya minggu depan,
               atau setelah panen jagung. Dengan enggan dua sigung nakal itu membersihkan huruf-huruf
               nama mereka.
                   Yashinta  asyik  meneruskan  anyaman  rotannya.  Ia  sudah  lancar.Sekali  dua  terdengar
               batuk.  Keringat  mengucur  semakin  deras  dari  dahinya.  Musim  kemarau  ini  entah  sampai
               kapan. Biasanya tidak selama ini. Seminggu dua minggu, lazimnya diseling hujan deras yang
               sedikit  mendinginkan  lembah.  Dua  hari  terakhir  kenapa  pula  badannya  terasa  tidak  enak.
               Tetapi Yashinta terlanjur asyik meneruskan anyamannya. Sambil  sesekali  memperhatikan
               Kak    Laisa  yang  tangkas  membersihkan  gulma.  Lihat,  satu  jam  berlalu,  luas  gulma  yang
               berhasil dibersihkan Kak Laisa, masih lebih banyak dibandingkan luas Kak Ikanuri dan Kak
               Wibisana dijumlahkan, dikalikan dua pula.
                   Matahari  mulai  tenggelam  di  balik  Gunung  Kendeng,  Mamak  menyuruh  Dalimunte
               memberesi perlengkapan. Menyimpannya di pondok. Saatnya pulang. Kak Laisa membantu
               berbenah-benah.  Menggendong  keranjang  berisikan  sayur-mayur.  Mereka  berjalan
               beriringan. Lembah itu hening. Langit terlihat merah. Angin bertiup pelan, menyenangkan.
               Rombongan  burung  layang-layang  terbang  pulang  ke  sarang.  Kelelawar  mengepak-
               ngepakkan sayap bersiap memulai ritual malamnya.
               Yashinta berkali-kali batuk lagi.
               "Kau baik-baik saja, Yash?" Kak Laisa bertanya.
               Yashinta mengangguk, sambil berusaha mensejajari langkah Kak Laisa.

               "Kenapa Kak Lais tidak bilang?" Dalimunte menangis, tersendat, jemari tangannya gemetar
               mengusap  bibir  perempuan  umur  empat  puluh  tiga  tahun  yang  terbaring  lemah  di  atas
               ranjang. Ada bercak darah di sana. Keluar bersama dahak,
               "Tidak. Tidak boleh ada yang menangis, Dali...." Kak Laisa berkata pelan, nafasnya sedikit
               tersengal,
   57   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67