Page 58 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 58

www.rajaebookgratis.com





               ladang.  Seperti  tarian  ular,  air  bening  yang  mengalir  melewati  pipa  bambu  membasahi
               ladang-ladang mereka. Bukan main, ini semua benar-benar kabar baik.
                   Wak  Burhan  setelah  puas  menatap  air  tumpah  membanjiri  ladang-ladang  mereka,
               beranjak mengajak penduduk kampung pulang. Lembah mulai remang. Saatnya beristirahat.
               Esok  masih  panjang,  masih  banyak  pekerjaan  yang  harus  dilakukan.  Dan  malam  ini,
               perjalanan panjang  itu telah dimulai dengan perasaan  lega. Menyenangkan. Hanya Ikanuri
               dan Wibisana yang merasa ganjil selepas pulang dari ladang. Karena tadi siang Wak Burhan
               menyuruh  mereka  memetik  habis  buah  mangga  di  ladangnya.  Membagi-bagikannya  ke
               penduduk kampung yang sedang gotong-royong.
               "Sayang,  yang  besar-besar  minggu  lalu  rontok  dimakan  kelelawar  harusnya  itu  jatah
               Yashinta—" Wak Burhan tersenyum memberikan sekantong buah mangga ke Yashinta.
                   Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik, merasa bersalah—

               17
               YASIN YANG DIBACAKAN
               MOBIL KIJANG itu pelan masuk ke halaman rumah.
                   Rumput yang terpotong rapi menghampar bagai beludru. Pohon duku, jeruk, durian, dan
               kakao  yang dibonsai  berbaris rapi. Minggu-minggu  ini  buahnya  masih terlalu  muda untuk
               dipetik,  tapi  melihatnya  sudah  cukup  menyenangkan.  Rumah  panggung  itu  terlihat terang.
               Belasan lampu neon bersinar lembut. Ramai. Beberapa penduduk terlihat duduk berkerumun
               di kursi bambu yang tersusun di depannya. Juga di teras. Mereka serempak berdiri saat mobil
               jemputan kebun strawberry itu mulai memasuki halaman rumah.
                   Tidak.  Tentu  saja  itu  bukan  rumah  panggung  paling  kecil,  paling  reot,  paling  jelek  di
               ujung lembah. Itu masih rumah yang lama, masih di lokasi yang sama, tapi sekarang sudah
               bertambah tiga kali lipat ukurannya, sudah berdiri kokoh, beratap genteng. Meski masih sama
               dinding kayunya, sudah berdiri asri. Halamannya yang sejak dari dulu sudah luas, sekarang
               dipenuhi  bebungaan  dan  pohon-pohon  bonsai.  Rumah  panggung  itu  juga  terlihat  modern
               dengan instalasi listrik dan rangkaian ornamen kaca warna-warni.
                   Kampung  itu  sejak dua puluh tahun silam pelan tapi pasti  memang  berubah  jadi  lebih
               baik. Lebih maju. Hari ini, seluruh rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan
               sanitasi  dan  halaman  yang  rapi.  Jika  kalian  sempat  datang  ke  sana,  kalian  seperti  melihat
               deretan bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu tentu termasuk rumah
               tua Mamak Lainuri.
                   Tidak ada lagi hamparan semak belukar. Juga ladang-ladang padi tadah hujan di sekitar
               kampung.  Apalagi kebun  mangga  Wak  Burhan. Yang  ada, sejak  memasuki  lembah radius
               dua kilo meter, hanya perkebunan strawberry yang membentang luas. Hijau sepanjang mata
               memandang. Buah merah yang beranjak ranum terlihat mengundang, bergelantungan, meski
               senja  yang  beranjak  malam  membuat  remang  sekitar.  Kebun-kebun  itu  separuhnya  milik
               penduduk kampung, yang bentuk dan susunannya dibuat sedemikian rupa agar sama seperti
               separuh lainnya, milik Kak Laisa.
                   Berbaris. Polybag pohon strawberry terlihat seperti lajur-lajur tentara yang berbaris rapi.
                   Jalan  setapak  yang  sudah    diaspal  melingkari  kebun-kebun.  Memudahkan  untuk
               mengangkut buah strawberry saat panen tiba. Juga  menjadi trek mengasyikkan, naik turun
               lembah  mengelilingi perkebunan.   Satu bangunan  besar terlihat di tengah hamparan hijau
               perkebunan.  Itu  gua  penyimpanan  sementara  sebelum  buah  strawbeery  dibawa  ke  kota
               provinsi.  Lampu-lampu  bangunannya  bersinar  redup.  Malam  ini,  lima  truk  milik  gudang
               berjejer, besok pagi-truk itu berangkat ke pusat pengalengan.
                   Orang-orang yang tadi duduk di kursi bambu beranjak mendekat. Mengerubungi mobil
               jemputan perkebunan. Dalimunte membuka pintu mobil. Melangkah turun.
               "Akhirnya kau tiba, Dali —" Orang-orang berseru, memeluknya.
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63