Page 61 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 61
www.rajaebookgratis.com
Panen bersama sebulan lalu sukses besar, Mamak Lainuri tak kurang dapat empat puluh
kaleng padi. Setelah dipotong zakat, juga padi cadangan untuk lumbung kampung, juga
delapan belas kaleng untuk persediaan beras mereka selama setahun, sisanya masih lumayan,
yang seluruhnya dijual ke kota kecamatan. Ditambah tabungan Mamak dari menjual damar,
rotan, gula aren, dan anyaman rotan selama ini, uangnya cukup sudah untuk membayar biaya
sekolah Yashinta, Ikanuri, Wibisana dan Dalimunte. Tahun ini, Dalimunte duduk di kelas
enam. Sementara Ikanuri dan Wibisana kelas empat. Itu berarti setahun lagi Mamak harus
memikirkan kelanjutan sekolah Dalimunte. Sekolah lanjutan di kota kecamatan. Yang berarti
akan lebih banyak lagi uang yang diperlukan.
Mamak meski terlihat biasa-biasa saja, tapi soal itu benar-benar penting baginya. Lepas
panen, Mamak langsung menggarap lagi ladang mereka. Tidak ada istilah berleha-leha.
Menanaminya dengan jagung. Lebih keras bekerja. Lebih lama menyadap damar di hutan.
Begitu juga dengan Kak Laisa, tubuh gendut tapi gempalnya terlihat semakin hitam. Terlalu
lama terpanggang terik matahari. Beruntung kehidupan di kampung jauh lebih baik sejak
irigasi lima kincir air dibuat. Beruntung pula perangai Ikanuri dan Wibisana juga ikutan
membaik sejak kasus itu. Meski masih sering membantah, masih sering melawan, masih
sering kabur disuruh mengerjakan sesuatu, mereka jauh lebih menurut.
Ikanuri dan Wibisana mulai mengerti arti tanggung jawab. Tidak percuma Kak Laisa
saban hari mengejar-ngejar mereka dengan sapu lidi teracung dan berteriak-teriak
"Kerja keras!" "Kerja keras!" "Kerja keras!" Dua sigung nakal itu sudah jarang bolos sekolah.
Sudah rajin membantu Mamak di Ladang. Sekali dua malah tanpa disuruh pergi ke hutan
mengumpulkan kayu bakar dan rotan. Kejadian di puncak Gunung Kendeng sedikit banyak
membuat mereka sungkan dengan Kak Laisa. Lah, harimau saja ngeri lihat Kak Laisa
melotot, apalagi mereka, kan? Ihhh.
Siang itu panas membakar lembah. Musim kemarau tiba di minggu-minggu puncaknya.
Yashinta menyeka keringat di dahi tidak hanya sekali. Berjalan pelan-pelan mengiringi
Ikanuri dan Wibisana. Daun pisang yang tadi diambilkan Dalimunte percuma, perjalanan
pulang dari kampung atas tetap menyiksa wajah. Ini bulan ketiga sekolahnya. Sejauh ini
ponten pelajarannya bagus-bagus. Yashinta jelas mewarisi ketekunan dan kecerdasan
Dalimunte, bukan tabiat iseng bin kenakalan Ikanuri dan Wibisana.
Tiba di rumah panggung mereka menghabiskan makan siang yang telah disiapkan Kak
Laisa sebelum berangkat ke ladang tadi pagi. Shalat dzhuhur (Dalimunte yang jadi imam),
kemudian Dalimunte meneriaki Ikanuri dan Wibisana agar buruan menyusul Mamak.
Yashinta sudah boleh ikut ke ladang sekarang. Meski kerjaannya di sana hanya belajar di
bawah pondok, belajar membuat anyaman bambu, mengerjakan PR, apa saja.
"HUUUU! HUUUU!!"
"HUUUU!" Mamak membalas teriakan Dalimunte. Kempat adik-kakak itu menuruni lereng
landai kebun. Di Lembah Lahambay, teriakan seperti itu lazim. Untuk saling memberitahu
posisi. Dengan suara seperti pekikan burung.
Mamak melambaikan tangan dari kejauhan. Kak Laisa dan Mamak sedang membersihkan
gulma di pojokan ladang. Batang jagung sudah setinggi kepala. Subur, dengan air yang terus
mengalir. Mereka berempat berbelok, Mendekat
"Mak, tadi ada guru baru di sekolah, Yash—"
Yashinta yang pertama kali melapor. Menurunkan daun pisang di atas kepalanya.
"Siapa?" Mamak bertanya pendek, tanpa menoleh, tangannya tetap gesit menyiangi rumput di
sela-sela batang jagung.
"Eh, siapa, Kak?" Yashinta nyengir, justru bertanya padii Ikanuri.
"Tahu, siapa—" Ikanuri melangkah tidak peduli, maksudnya dia memang tidak peduli dengan
siapa guru baru tadi, bukan tidak peduli dengan pertanyaan Yashinta. Mengambil arit yang
tergeletak di dekat Kak Laisa, ikut membantu.