Page 66 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 66

www.rajaebookgratis.com





               menyalak, petir berkali-kali menyambar, enam mahasiswa KKN itu sudah terlanjur bergegas
               kembali ke kampung  atas,  mengenakan  jas  hujan  besar dan payung.  Lagipula Ikanuri dan
               Wibisana  memaksa  pulang  buruan.  Sudah  mengantuk.  Maka  di  tengah  deru  angin  yang
               semakin menggila, mereka juga bergegas kembali ke rumah panggung.
               "Ternyata mereka tidak hanya melakukan penyuluhan-penyuluhan seperti yang KKN dulu,
               Mak." Laisa melapor setiba di rumah. Mengibas-ngibaskan rambut. Hujan deras turun persis
               mereka tiba di halaman.
               Mamak  hanya  mengangguk  selintas.Terkantuk  menunggui  Yashinta  yang  tidur  sambil
               mengerang.  Panas.  Kompres  kain  yang  membungkus  dahi  Yashinta  seperti  sia-sia.  Suhu
               badannya tidak turun-turun. Di luar hujan deras terdengar membuncah atap seng. Gemuruh.
               Satu dua tampias. Menetes di dalam rumah. Laisa buru-buru mengambil baskom dan kain.
               Menampung tetesan air.
                   Ikanuri dan Wibisana sudah beradu punggung di ruang depan. Bergelung. Tidur. Hanya
               Dalimunte yang berdiri di depan pintu kamar. Memperhatikan Yashinta dengan wajah sedikit
               cemas.
               "Masih panas, Mak?"
               Mamak mengangguk. Terlihat amat lelah.
               "Mamak sebaiknya tidur, biar Lais yang jaga sekarang."
               Kak Laisa mengambil posisi di sebelah Yashinta. Mengganti air kompres.
               Mencelupkan kain. Memerasnya. Meletakkannya di dahi Yashinta lagi.
               "Kau juga tidur, Dali!" Laisa menyuruh Dalimunte.
               Dalimunte menelan ludah, beringsut ke ruangan depan. Dia tidak tega melihat Yashinta yang
               terus mengerang, lantas sekali dua batuk, terdengar kesakitan. Mamak bersandar di dindig,
               berusaha memejamkan mata. Hujan turun semakin deras.
                   Pukul  24.00,  persis  tengah  malam,  saat  Dalimunte  sudah  lelap  tertidur.  Mamak  juga
               sudah  tertidur.  Kak  Laisa  mendadak  berseru-seru.  Panik.  Terbangun.  Mamak  langsung
               terbangun  juga  Dalimunte,  yang  setengah  terkantuk,  setengah  terjaga  mendekat.  Lihatlah,
               tubuh Yashinta menggelinjang. Kejang. Matanya mendelik, menyisakan putih.
               Kak Laisa berteriak tambah panik.
               "Yashinta, Mak! YASHINTA!"
               Mamak Lainuri berusaha memegangi tubuh Yashinta. Ikut tegang. Panik.
               Meski lebih banyak bingungnya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada dokter di sini. Tidak
               ada. Mamak berusaha menyeka keringat yang mengalir deras dari leher Yashinta. Berusaha
               memberikan  ramuan.  Mengompres.  Apa  saja  yang  terpikirkan  olehnya.  Percuma,  mata
               Yashinta semakin mendelik.
                   Dalimunte mencicit melihatnya. Jantungnya berdetak kencang, takut. Ya Allah, apa yang
               sedang terjadi. Ada apa dengan Yashinta. Berusaha mendekat, tapi setelah mendekat malah
               menjauh lagi, tidak mengerti harus melakukan apa.
                   Saat Mamak semakin bingung, saat Ikanuri dan Wibisana yang terjaga ikut mendekat dan
               bergumam jerih, saat tubuh Yashinta semakin tidak terkendali, Kak Laisa mendadak berlari
               ke ruangan depan, Kak Laisa menendang pintu depan. Berdebam. Lantas diikuti oleh tatapan
               bingung Mamak, entah apa yang akan dilakukannya, Kak Laisa sudah berlari menghambur ke
               tengah derasnya hujan. Angin menderu kencang, masuk ke dalam rumah, mengirimkan bilur-
               bilur air, membuat perabotan berderak.
                   Kak  Laisa  berlari  sekuat  kakinya  ke  kampung  atas.  Tidak  peduli  tetes  air  hujan  bagai
               kerikil batu yang ditembakkan dari atas. Tidak peduli tubuhnya basah-kuyup. Tidak peduli
               malam yang gelap gulita. Dingin membungkus hingga ujung kaki. Musim kemarau begini, di
               malam  hari,  suhu  Lembah  Lahambay  bisa  mencapai  delapan  derajat  celcius.  Kak  Laisa
               berlarian menaiki lembah. Terpeselet. Sekali. Dua kali. Tidak peduli. Petir menyalak. Guntur
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71