Page 67 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 67

www.rajaebookgratis.com





               menggelegar. Ia ingat. Ia ingat kakak-kakak mahasiswa tadi menyebut-nyebut soal obat dan
               dokter. Mereka pasti bisa membantu.
                   Ia harus segera. Waktunya terbatas.

                   Dalimunte sudah bisa duduk lebih  tenang. Duduk tertunduk.
               "Kemari, sayang...." Laisa memanggil pelan Intan. Intan melangkah mendekat
               "Wawak sakit, ya?"
               Laisa menggeleng, tersenyum. Wawak baik-baik saja. Intan menelan ludah. Memasang wajah
               tidak percaya. Wawak pasti bohong.
                   Laisa pelan mengangkat lengannya. Memperlihatkan dua gelang karet, "Safe The Planet".
               Intan  menyeringai,  akhirnya  ikut  tersenyum.  Tuh,  kan,  hanya  Wak  Laisa  yang  mau  (dan
               benar-benar niat) pakai dua gelang. Abi saja ogah, hanya beli doang. Intan menyentuh lembut
               lengan Wak Laisa. Tidak panas. Menyentuh dahi Wak Laisa, juga tidak panas. Kalau tidak
               panas, kenapa tubuh Wak Laisa dipenuhi infus?
               "Yang sakit apanya?" Intan bertanya macam dokter saja.
               Wak Laisa tersenyum lagi, batuk.
               Intan meraih kotak tissue, meniru Eyang. Ikut membersihkan darah dari pipi Wak Laisa.
                   Dalimunte  menatap  wajah  lelah  itu.  Mendongak.  Cahaya  lampu  neon  bersinar  lembut.
               Dia tahu banyak urusan ini, meski dia baru menyadarinya belasan tahun kemudian. Kak Laisa
               yang tidak pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak pernah. Sesakit apapun, sesesak
               apapun  rasanya.  Kak  Laisa  yang  selalu  berusaha  terlihat  semua  baik-baik  saja.  Dia  ingat
               sekali kejadian malam itu. Ingat. Bagai bisa melihatnya kebali dari pendaran cahaya Lampu
               neon.  Melihat  kembali  tetes  air  dari  tubuh  Kak  Laisa  yang  membuat  ruangan  depan
               tergenang. Wajahnya yang kesakitan....
               "Si belang mana, sayang?"
               Intan menoleh ke Ummi, tuh kan, Wak Laisa pasti nanya,
               "Eh, tadi langsung loncat dari mobil. Pasti nyari pacarnya yang dibilang Oom Ikanuri —"
               Tertawa kecil. Laisa berusaha tertawa mendengar celetukan Intan.
                   Mahal sekali harganya, tubuh tambun tapi gempal itu bergerak-gerak tertahan. Membuat
               garis hijau di layar peralatan medis terputus-putus. Berdengking. Yang membuat Intan ikutan
               pias. Takut. Kenapa Wak Laisa jadi semaput? Kan, hanya tertawa?
                   Dokter melangkah, mendekat, memeriksa peralatan, Cemas, lantas berkata ragu-ragu,
               "Eh, maaf Pak Dalimunte, sepertinya Ibu Laisa harus ditinggal istirahat, jangan banyak bicara
               dulu—"
               Laisa  yang perlahan kembali terkendali  menggeleng,  memberikan kode gerakan tangan ke
               dokter.  Biar.  Biarlah  mereka  berada  di  kamar  ini.  Ia  ingin  terus  terjaga  menunggu  adik-
               adiknya pulang satu per satu. Ia ingin menatap wajati mereka satu persatu. Ia ingin bicara,
               ingin mendengar Intan bercerita. Ia ingin Intan tahu kalau Wawak-nya baik-baik saja. Dokter
               menelan  ludah,  berhitung  sejenak.  Berdiskusi  sebentar  dengan  Mamak  dan  Dalimunte.
               Baiklah. Tidak banyak yang bisa dilakukannya lagi.
                   Tidak ada salahnya.

                   Malam  itu, Laisa untuk kesekian kalinya tiba tepat waktu.
                   Menggedor pintu rumah kepala kampung atas. Terbata-bata bilang tentang sakit Yashinta.
               Mahasiswa itu mengangguk, ia mengenali Laisa. Salah satu dari penduduk kampung bawah
               yang tadi dua tiga kali bertanya. Tanpa pikir panjang langsung menyambar jas hujan, sepatu
               bot,  dan  peralatan  medis.  Kepala  kampung  atas  yang  ikut  terbangun  berbaik  hati
               meminjamkan starwagoon tuanya. Mobil itu segera meluncur.
                   Hujan  turun  semakin  deras.  Mobil  hanya  bisa  dipakai  hingga  batas  ladang-ladang.
               Terpaksa  berjalan  lima  ratus  meter.  Kakak-kakak  mahasiswa  itu  berbaik  hati  menerobos
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72