Page 69 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 69
www.rajaebookgratis.com
baris jadwal penerbangan terpampang otomatis di layar tersebut. Merah. Hijau. Kuning.
Display yang mengagumkan.
Moskow, Departure 07.30. California, Departure 07.35. Riyadh, Arrive 07.40. Singapore,
Departure 07.40. Hongkong, Delay 07.45. Jakarta, Departure 07.45.
Ikanuri melirik jam di pergelangan tangan, masih satu setengah jam lagi jadwal
penerbangan mereka. Mengusap wajah sekali lagi. Masih lama, seharusnya mereka masih
punya waktu untuk sarapan. Menikmati sepotong donut dan segelas kopi gaya Perancis. Tapi
perutnya tidak lapar. Dia penat itu benar, lelah tentu saja. Tapi dia tidak mengantuk atau
lapar. Tadi kereta Eurostar tiba di stasiun Gare de Nord, Paris pukul 05.30 (hanya terlambat
setengah jam, meski terhenti oleh longsoran itu selama dua jam). Mereka shalat shubuh di
kabin kereta. Lantas langsung meluncur menuju bandara. Menumpang subway Paris-
Bandara. Segera check-in.
"Kau sudah menelepon Yashinta, lagi?" Ikanuri bertanya. Wibisana mengangguk,
"Tetapi, tetap tidak ada nada sambungnya…." menelan ludah.
Ikanuri menghela nafas panjang. Nah, setelah nyaris sepuluh jam tidak berhasil
menghubungi Yashinta, dia akhirnya ikut cemas. Tidak ada nada sambung? Selama itu kah?
Kemana pula anak itu di waktu sepenting dan semendesak ini? Apa masih di puncak Semeru?
Mengamati alap-alap kawah? Tidak mungkin sinyal telepon genggam satelitnya tidak
menjangkau daerah tersebut. Lantas kemana anak ini hingga telepon genggamnya tidak aktif?
Kehabisan baterai? Tidak mungkin. Yashinta pendaki gunung profesional. Ia selalu
membawa baterai cadangan.
"Kau sudah telepon Goughsky?" Ikanuri teringat
Wibisana seperti tersadarkan. Kenapa tidak terpikirkan sejak tadi? Semua kepanikan ini
membuat kepala mereka tumpul. Ya! Goughsky. WNI keturunan Uzbekistan itu kolega
Yashinta di lembaga konservasi, Bogor. Tiga tahun terakhir, di mana ada Yashinta, di situ
juga ada Goughsky. Dan sebaliknya. Mereka kompak tidak hanya urusan konservasi. Lebih
dari itu.... Meski sayangnya enam bulan terakhir hubungan mereka berantakan. Bermasalah.
Ah, Goughsky pasti tahu di mana Yashinta. Kalau pun tidak, anak itu rela menukarkan nyawa
untuk memastikan di mana Yashinta sekarang
Wibisana buru-buru menarik HP dari saku celana.
Sebenarnya inilah urusan paling pelik dari hubungan kakak-adik yang mengesankan
tersebut. Saat kehidupan lebih baik datang menjemput, janji-janji kesempatan lebih besar di
luar Lembah Lahambay tiba, saat itulah mereka menyadari jika Kak Laisa semakin
'tertinggal' dibelakang. Bukan. Bukan soal pendidikan, toh, meski tidak sekolah Kak Laisa
tetap seperti tahu segalanya. Bukan pula soal kesempatan melakukan hal-hal besar, toh meski
tetap di lembah, Kak Laisa sungguh tetap bisa melakukan hal-hal besar, Kak Laisa bahkan
berhasil merubah wajah seluruh lembah. Kesejahteraan penduduk, pendidikan anak-anak,
akses atas kesempatan. Dan tentu saja juga bukan soal materi dan sebagainya, karena jelas
Kak Laisa boleh menguasai seluruh Lembah Lahambay dengan perkebunan strawberry-nya.
Dua bulan setelah kejadian sakit Yashinta, instalasi listrik pertama akhirnya terpasang di
rumah-rumah kayu. Mahasiswa KKN itu membuktikan kalau bantuan dari kampus tidak
omong-kosong. Maka terang-benderanglah lembah tersebut. Bukan main. Anak-anak yang
selama ini hanya terbiasa dengan lampu canting dan ribuan larik kunang-kunang mengerjap-
ngerjap menatap bohlam lampu belasan watt. Berpendar-pendar. Seperti melihat pesawat
UFO mendarat, dengan mahkluk angkasa di dalamnya (ini celetukan Ikanuri yang asal
ngarang saat pertama kali melihat bohlam lampu di surau). Kincir air itu berfungsi ganda,
dengan generator yang terpasang, sekarang sekaligus menjadi pembangkit tenaga listrik.
Dalimunte belajar banyak dari kakak-kakak mahasiswa Semakin menyukai membuat sesuatu.
Sesuatu yang berguna.