Page 73 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 73

www.rajaebookgratis.com





               menggenangi polybag, kabar baik itu akhirnya tiba. Empat ratus pohon strawberry merekah
               subur dari kantong-kantong plastik hitam. Bukan main. Empat bulan berlalu lagi, hari-hari
               dihabiskan dengan kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa baru pulang saat adzan
               magrhib  terdengar,  telaten  merawat  satu  demi  satu  batangnya.  Mencurahkan  seluruh
               perhatian ke kebun satu hektar itu.
                   Dan Mamak akhirnya tersenyum lebar, buah-buah merah ranum mulai bermunculan dari
               batang-batangnya. Membuat seluruh penduduk kampung tercengang. Belum pernah mereka
               melihat buah seindah itu. Yashinta yang paling girang. Menghabiskan sore selepas sekolah
               dengan  menghitungi  satu  demi  satu  buahnya.  Malah  membawa-bawa  kertas.  Dicatat  satu
               persatu perpohon. Ikanuri dan Wibisana? Standarlah, mereka juga sibuk mencuri buah-buah
               strawberry yang mulai matang...
                   Dalimunte yang sekarang punya waktu lebih banyak membantu Mamak dan Kak Laisa,
               mengambil  perannya  saat  buah  merah  ranum  strawberry  siap  dipanen.  Ia  menyiapkan
               teknologi  pengalengan  sederhana.  Dengan  gentong-gentong  besar  dari  tanah  yang  banyak
               dijual  di  kota  kecamatan.  Jadi  tak  ada  lagi  buah  yang  busuk  ketika  tiba  di  kota  provinsi.
               Sukses besar.
                   Meski  Ikanuri  dan  Wibisana  mencuri  buah-buah  itu  hingga  sepuluh  kilo  setiap  hari
               selama dua tahun, tetap tidak akan habis saking bagusnya panen kebun mereka. Kakak-kakak
               dari kota provinsi  berbaik  hati  mengirimkan truk pengangkut, seminggu setelah  menerima
               surat dari Laisa.
                   Kabar baik itu akhirnya tiba di Lembah Lahambay.
                   Satu  tahun  berlalu.  Usia  Kak  Laisa  sekarang  sudah  menjelang  dua  puluh  tahun.
               Dalimunte empat belas, Ikanuri sebelas (hampir  dua  belas),  Wibisana sebelas (baru  lewat
               sepuluh), dan Yashinta sembilan tahun. Satu tahun penuh kerja keras, kerja keras, kerja keras,
               dan pengharapan. Senja itu, gerimis kembali membasuh lembah indah tersebut.
               "Mamak menyuruh Kakak pulang."
               Laisa  menoleh,  tersenyum  lebar  melihat  Dalimunte  melangkah  mendekat.  Adiknya
               mengulurkan  payung.  Ikut  tersenyum.  Seekor  elang  terbang  berputar  di  tengah  larik  bulir
               hujan. Langit mulai gelap. Batang-batang strawberry bergoyang lembut oleh hujan.  Satu dua
               buah sisa  panen seminggu lalu masih menggelantung. Terlihat merah ranum. Kemilau kristal
               air menambahi kesan indahnya.
               "Kau  sudah  pulang  dari    kota  kecamatan?"  Dalimunte  mengangguk  mantap.  Tadi  dia  dan
               Mamak mendaftar sekolah. Sekalian membeli banyak barang keperluan. Seragam baru buat
               Yashinta. Sepatu baru buat Ikanuri dan Wibisana. Juga baju baru buat Mamak dan Kak Laisa.
               Sudah lama sekali Mamak tidak punya baju baru. Kak Laisa juga, selama ini membeli barang
               loakan, yang selalu gombyor, kebesaran buatnya.
               "Kalau  Dali  sekolah  minggu  depan,  berarti  Dali  tidak  bisa  bantu  Mamak  dan  Kak  Lais
               lagi...." Dali menunduk, berdiri di sebelah Kak Laisa, berpegangan ke pagar kebun.
               "Kau tetap bisa membantu." Kak Laisa berkata ringan.
               "Tapi,  Dali  setiap  shubuh  harus  menumpang  starwagoon,  baru  pulang  lepas  magrhib.
               Bagaimanalah Dali bisa membantu?"
               "Kau tetap bisa membantu, Dali. Dengan belajar sungguh-sungguh. Dengan nilai-nilai yang
               baik. Kau akan membantu banyak Mamak dengan semua itu."
               Kak  Laisa  menggenggam  lengan  adiknya.  Menatap  wajah  Dalimunte  yang  sekarang  lima
               belas senti lebih tinggi darinya. Dalimunte terdiam, menggigit bibir.
               "Berjanjilah—"
                   Dalimunte mengangguk. Mengusap ujung-ujung matanya.

               "Kemarilah, Dali.... Kemari...." Kak Laisa berkata lirih.
               Mamak melepas dekapan kepala Dalimunte.
   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78