Page 78 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 78

www.rajaebookgratis.com





               Ikanuri  dan  Wibisana  lebih  asyik  menghabiskan  waktu  di  bengkel.  Mereka  memang
               menyukai  mengotak-atik  mesin.  Cinta  sekali  dengan  mobil.  Beruntung  Kak  Laisa  berbaik
               hati membelikan starwagoon tua, dengan janji mereka tetap akan meneruskan kuliah di kota
               provinsi tahun depan.
                   Yashinta tumbuh menawan. Gadis kecil itu sekarang sudah lima belas. Setahun lagi harus
               melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia tetap sekolah di kota kecamatan yang dulu pernah
               dibencinya. Meski tidak kunjung terbiasa, Yashinta mengalah. Bisik-bisik tetangga soal fisik
               Laisa  juga  sebenarnya  jauh  berkurang  karena  meski  dengan  segala  keterbatasannya,  fakta
               Laisa melakukan banyak hal untuk lembah, anak-anak yang bersekolah, bantuan menanam
               strawberry di kebun-kebun, membuat kehidupan lembah jauh lebih baik.
                   Jadi penduduk kampung walau tetap  membicarakan  Laisa  yang  hingga usia dua puluh
               tujuh tahun tetap belum menikah, intonasinya lebih karena prihatin. Ingin membantu mencari
               jalan keluar.
               "Cepat atau lambat juga akan datang, Mak!" Itu jawaban ringan Kak Laisa setiap kali Mamak
               mengajak membicarakannya (atau jika ada tetangga yang berbaik hati bertanya).
               "Lihat,  Wak  Burhan  besok  akan  menikah  untuk  kedua  kalinya.  Padahal  umurnya  sudah
               delapan puluh! Cepat atau lambat giliran Laisa pasti akan tiba pula, bukan?"
               Kak Laisa tertawa.
                   Itu benar, besok Wak Burhan akan menikah dengan janda tua dari desa atas. Umur calon
               istri  Wak  Burhan  berbilang enam puluh tahun, sudah  bercucu sebelas. Malam  itu,  mereka
               ramai-ramai  berkumpul  di  rumah  untuk  menyiapkan  keperluan  acara  besok.  Wak  Burhan
               masih terhitung kakak sepupu Mamak. Jadi rumah panggung mereka jadi tempat 'mempelai
               perempuan' bersiap-siap.
                   Yashinta ditemani Cie Hui memasang hiasan-hiasan janur. Penduduk kampung itu sibuk.
               Minggu-minggu  selepas  lebaran,  memang  waktu  yang  tepat  melangsungkan  hajat  besar.
               Pernikahan. Mamak dan ibu-ibu lainnya menyiapkan hidangan besok. Dalimunte dan pemuda
               lainnya menyiapkan panggung acara. Kak Laisa ikut mengerjakan banyak hal. Jelas ia sudah
               terbiasa menangani tatapan ingin tahu. Menanggapi ibu-ibu tetangga yang menggodanya,
               "Jadi kapan Lais akan menyusul?" Laisa hanya tersenyum simpul.
                   Setiap kali ada pernikahan di lembah itu, Laisa selalu membantu mengerjakan banyak hal.
               Terbiasa dengan kalimat prihatin, gurauan,  bahkan  bisik-bisik tetangga. Menjawab dengan
               senyuman,  kalimat  ringan,  atau  ikut  tertawa.  Tapi  apakah  Laisa  seringan  itu  menghadapi
               fakta  bahwa  ia  belum  menikah-menikah  juga?  Dalimunte  tahu  persis  jawabannya.  Seperti
               malam  itu,  saat  semua  jatuh  tertidur  kelelahan  lepas  menyiapkan  keperluan  acara  besok.
               Larut malam. Bintang Indah bertebaran di angkasa. Cerah. Lembah itu berpendar-pendar oleh
               cahaya bohlam lampu di bawah dan cahaya bintang di langit.
               "Kak Lais belum tidur?"
               Laisa menoleh, tersenyum. Dalimunte melangkah, mendekat. Laisa berdiri di depan bingkai
               jendela yang dibuka lebar-lebar.
               "Bulan yang indah, bukan?" Kak Lais menunjuk ke atas.
                   Dalimunte mengangguk. Menelan ludah. Dia tahu, Kak Laisa tidak menghabiskan waktu
               setengah  jam  dini  hari  seperti  ini  hanya  untuk  menikmati  menatap  rembulan.  Bersenyap
               seorang  diri  pukul  dua  pagi.  Tentu  ada  banyak  hal  yang  sedang  dipikirkannya.  Kalimat-
               kalimat tetatngga. Usianya  yang  sebentar  lagi tiga puluh. Entahlah. Tapi  Kak  Laisa selalu
               ingin  terlihat  semua  baik-baik  saja  di  depan  adik-adiknya.  Sejak  setahun  lalu,  Dalimunte
               ingin sekali menanyakan hal tersebut.
               "Apakah kau menyukai Cie Hui?" Kak Laisa justru yang mendahuluinya bertanya.
               Muka Dalimunte memerah. Tersipu.
               "Ergh, maksud Kak Lais?"
               "Kata Yashinta tadi, Cie Hui bilang kalian tidak pacaran. Hanya teman dekat—"
   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83