Page 80 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 80

www.rajaebookgratis.com





                   Sementara Yashinta benar-benar tumbuh menjadi gadis yang menawan. Cantik luar biasa.
               Umurnya sekarang dua puluh. Tahun kedua di jurusan Biologi universitas ibukota. Malam ini
               ia jug a pulang. Lihatlah, Yashinta, dengan rambut tergerai panjang, mata hitam indah dan
               tubuh tinggi semampai, terlihat seperti bidadari di rumah panggung itu. Amat kontras dengan
               Kak  Laisa.  Gadis  itu  juga  tumbuh  dengan  pemahaman  yang  baik      atas  hidup.  Mencintai
               kehidupan sekitar.Menghabiskan waktu dengan kegiatan mendaki gunung, menyelami lautan,
               konservasi alam. Setiap kali ia pulang, itu  saja dengan berhari-hari menghabiskan waktu di
               hutan rimba dekat lembah. Menginventarisir satwa di dalamnya. Hasil  jepretan kameranya
               sudah ribuan lembar. Yashinta amat atletis untuk urusan ini. Ia bahkan dua kali lebih atletis
               dibanding Kak Laisa.
               "Kau tidak harus menunggu aku, Dali—"
               Kak  Laisa  menghela  nafas  panjang.  Mengulang  kalimatnya.  Memecah  lenyap.  Mendekap
               pinggang Dalimunte yang tiga jengkal lebih tinggi darinya.
                   Dalimunte hanya menunduk, menelan ludah. Bagaimanalah? Dulu Kak Laisa bahkan tega
               mempermalukan  diri  sendiri  agar  adik-adiknya  tidak  mendapat  malu.  Kak  Laisa  bekerja-
               keras  di  masa  kecilnya  demi  adik-adiknya.  Bagaimanalah  dia  sekarang  sampai  hati
               mendahului Kak Laisa? Justru mempermalukan Kak Laisa? Itu akan jadi aib besar di lembah.
               Belum  menikah di usia tiga puluh tiga tahun saja cukup  sudah  membuat tetangga  banyak
               bertanya, apalagi jika adik-adiknya melintas.
               "Kau sudah cukup umur Dali. Punya pekerjaan hebat di ibukota. Cie Hui amat menyukaimu.
               Kau tahu, selama ini ia bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan di
               rumah orang tuanya di kota kecamatan, bukan?" Tertawa.
                   Dalimunte  ikut  tertawa  kecil.  Semerbak  wangi  perkebunan  di  malam  hari  menyergap
               ujung  hidung.  Malam  sudah  amat  larut.  Pukul  dua  pagi.  Dia  selalu  menemani  Kak  Laisa
               menghabiskan  malam  setiap  kali  pulang  ke  lembah.  Menatap  pemandangan  lembah  yang
               indah. Dulu waktu mereka kecil, Kak Laisa juga suka melakukannya. Dan Dalimunte tahu
               persis itu.
                   Dulu  Kak  Laisa  menghabiskan  malam  dengan  berpikir  tentang  sekolah  adik-adiknya.
               Bagaimana  mencari  uang  agar  adik-adiknya  tidak  putus  sekolah.  Membantu  Mamak  yang
               setiap hari terpanggang matahari di ladang. Sekarang? Dalimunte menghela nafas pelan, Kak
               Laisa  tidak  pernah  sekalipun  mendapat  bagian  untuk  merasakan  bahagia  dalam  hidupnya.
               Apa yang sekarang Kak Laisa pikirkan? Usianya? Kesendiriannya?
               "Berjanjilah kau tidak akan membuat Cie Hui menunggu lebih lama lagi. Berjanjilah, Dali—"
               Suara Kak Laisa kembali memecah sepi.Dalimunte hanya menatap senyap hamparan kebun
               strawberry. Urung menanyakan hal penting tersebut.

                   Mobil jemputan kedua tiba di Lembah Lahambay. Juwita  dan   Delima  berteriak-teriak
               ribut    saat   turun.  Bertengkar  soal  sepeda  BMX  mereka.  Ummi  mereka  berdua  menghela
               nafas, berusaha melerai. Kehabisan akal. Gara-garanya sepele, mereka bertengkar soal sepeda
               siapa  yang  duluan  harus  diturunkan.  Tetangga  yang  sedang  berkumpul  di  beranda  rumah
               panggung berkerumun, ikut bingung mencari solusinya.
               "Lihat, lihat, Bak Wo Jogar turunkan dua-duanya serempak. Satu-dua-tiga-..."
               Bang Jogar tertawa, tangan kekarnya mengangkat kedua sepeda itu sekaligus dari atas mobil,
               ikut berseru meningkahi seruan kedua sigung kecil tersebut. "Nah, adil, kan?"
                   Juwita dan Delima  hanya  nyengir. Bilang terima kasih (setelah dicubit  Ummi  masing-
               masing). Mendorong masuk sepeda mereka ke garasi, sebelah rumah.
                   Mereka  lagi-lagi  berisik  saat  naik  ke  rumah  panggung.  Ribut  soal  siapa  yang  duluan
               salaman dengan Eyang Lainuri dan Wawak Laisa. Saling dorong saat masuk kamar. Tidak
               mempedulikan  tatapan  tetangga  yang  sedang  mengaji  yasin.  Tetapi  dua  sigung  kecil  itu
               seketika terdiam saat melihat ke dalam kamar.  Melihat  infus, belalai, dan peralatan  medis
   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84   85