Page 77 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 77

www.rajaebookgratis.com





               "Yash seharusnya tidak marah. Yash seharusnya terbiasa" Kak Laisa duduk di sebelah. Ikut
               bersandarkan kursi panjang. Menghela nafas.
               Mendekap bahu adiknya.
                   Yashinta hanya diam. Meletakkan tas barunya.
                   Minggu  lalu,  dan  juga  minggu-minggu  lalunya,  waktu  ia  bermain-main  bersama  anak
               tetangga  di  lembah,  beberapa  remaja  tanggung  juga  seringkali  menunjuk-nunjuknya.
               Berbisik.  Tertawa.  Yash  tahu  apa  yang  sedang  mereka  bicarakan.  Mereka  pasti  senang
               membanding-bandingkan ia dengan Kak Laisa. Maka marahlah Yashinta. Melempar mereka
               dengan butiran tanah. Berteriak-teriak. Membuat Wak Burhan yang kebetulan lewat terpaksa
               turun tangan.
               "Mereka menghina Kak Lais, Wak!" Yashinta mengadu  marah.
               Wak Burhan mengusap rambut panjang Yashinta. Tersenyum bijak. Sejak dulu, anak-anak
               kampung memang suka  memperolok-olok Laisa. Hanya saja karena Yashinta masih terlalu
               kecil  sajalah,  hingga  Yashinta  tidak  menyadarinya.  Remaja-remaja  tanggung  itu  sedang
               senang-senangnya  rumpi.  Mengolok-olok.  Laisa  yang  berbeda  dengan  anak-anak  Mamak
               Lainuri lainnya. Laisa yang berbeda dengan penduduk kampung lainnya.   Bahkan sekali-dua
               meski dengan intonasi berbeda orang dewasa di lembah itu juga suka membicarakan Laisa
               yang belum menikah-menikah juga, Wak Burhan malah juga pernah berkunjung, berbicara
               dengan Mamak Lainuri soal kenapa Laisa belum menikah.
               "Yash seharusnya terbiasa. Lihat, Ikanuri dan Wibisana terbiasa. Dalimunte juga terbiasa—"
               "Tapi mereka menghina Kak Lais!" Yashinta memotong.
               " Mereka hanya merasa heran—"
               "Mereka menghina. Yash tidak suka. Pokoknya Yash tidak suka. Yash tidak mau sekolah di
               sini!" Yashinta menjawab ketus.
               Laisa tersenyum.
                   Suka atau tidak, mau atau tidak, Yashinta  harus membiasakan diri. Seperti Ikanuri dan
               Wibisana yang tidak peduli dengan olok-olok itu. Atau seperti Dalimunte yang memang tidak
               pernah mendengarkan sedikitpun olok-olok tersebut. Karena tidak ada gunanya.
               Tidak ada manfaatnya.
               Adiknya Yashinta harus (segera) terbiasa....

               24
               PERNIKAHAN SEPUH
               MALAM ITU, rumah panggung mereka ramai.
                   Kak  Laisa  baru  saja  menyelesaikan  renovasi  rumah.  Sekarang  rumah  panggung  reot
               seadanya  itu  berubah  menjadi  bak  villa  indah.  Masih  berlapis  kayu,  tapi  sekarang  tanpa
               lubang-lubang.  Atapnya  digantikan  genteng,  sudah  tak  tampias  lagi.  Hamparan  halaman
               ditanami  beludru  rumput  dan  bonsai  pepohonan.  Perkebunan  strawberry  mereka  sekarang
               sudah puluhan hektar, memenuhi separuh lembah hingga cadas  lima meter sungai. Tidak ada
               lagi lima kincir bambu di sana. Sekarang digantikan dua pasang kincir bertingkat-tingkat dari
               batangan  aluminium  dan  pondasi  beton  yang  lebih  kokoh.  Ada  banyak  hal  besar  yang
               dikerjakan Kak Laisa tiga tahun terakhir. Seiring majunya perkebunan strawberry, Kak Laisa
               juga merenovasi sekolah seadanya di kampung atas. Jalanan selebar tiga meter itu juga sudah
               di aspal tipis. Memudahkan truk-truk pengangkut buah strawberry berlalu-lalang.
                   Malam itu, Dalimunte yang sudah kuliah di institut teknologi ternama luar pulau, mudik.
               Kejutan.  Benar-benar  kejutann,  Dalimunte  pulang  bersam  Cie  Hui.  Gadis  keturunan  yang
               dulu mereka lihat di kota provinsi. Umur Dalimunte sudah dua puluh satu tahun, sudah bukan
               remaja tanggung lagi. Ikanuri dan Wibisana beranjak delapan belas, sudah di tahun terakhir
               sekolah lanjutan atas kota kabupaten. Mereka masih suka menggoda Dalimunte soal Cie Hui,
               tapi konteksnya jauh berbeda. Bukan lagi gurauan remaja tanggung atau anak-anak. Lagipula
   72   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82