Page 71 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 71
www.rajaebookgratis.com
Dari tadi siang ia di kebun. Menatap kegagalannya. Sengaja belum pulang meski adzan
maghrib sebentar lagi terdengar. Ia amat enggan pulang. Hari ini Dalimunte menerima hasil
ujian sekolahnya. Mamak minggu lalu sudah bilang, mereka hanya punya uang buat Yashinta
yang mulai masuk kelas dua, dan Ikanuri serta Wibisana yang menginjak kelas lima. Tapi
tidak untuk Dalimunte yang akan melanjutkan sekolah di kecamatan.
Senyap.
Dalimunte ikut melepas daun pisang dikepalanya. Membiarkan tubuhnya basah seperti
Kak Laisa. Berdiri di sebelah Kak Laisa, ikut menatap kebun mereka. Onggokan kantong-
kantong plastik hitam. Seekor elang melintas rendah. Begitu anggun di garis horizon lembah.
Lengang tiga menit.
Hanya gerimis yang terus membasuh dinginnya tanah.
"Kata Mamak, kakak bisa mencobanya lagi tahun depan...."
Dalimunte berkata pelan, antara terdengar dan tidak. Menunduk, menggigit bibirnya.
Laisa menoleh. Dalimunte sudah lebih tinggi darinya sekarang. Setahun berlalu sejak
kincir air dibuat, bahkan Ikanuri dan Wibisana sudah lebih tinggi dari Laisa.
Mereka berdiam diri lagi.
"Sebenamya... sebenarnya, Dali juga tidak senang sekolah. Sungguh — "
Dalimunte berkata serak. Dia membuang ingus. Dari lima bersaudara, Dalimunte-lah yang
paling mudah terharu.
"Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja di kebun membantu Mamak, membantu Kakak.
Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak tidak usah sedih...."
Laisa menelan ludah. Menggigit bibirnya.
"Dali kan bisa belajar dari mana saja. Pinjam buku. Tidak mesti sekolah. Dali tidak harus
membuat Kakak susah—"
"kau bicara apa, Dali!" Laisa memotong suara adiknya.
"Dali tidak ingin sekolah. Dali tidak ingin membuat Kak Lais sedih. Tak ingin lihat Mamak
kerja keras dipanggang matahari. Dali tidak ingin sekolah—"
"kau harus tetap sekolah!" Laisa memotong sekali lagi kalimat adiknya, berkata dengan suara
serak. Tapi kalimat itu terdengar hambar, tidak setegas seperti biasanya. Bagaimanalah?
Untuk membayar uang pangkal saja tidak ada. Apalagi ongkos Dalimunte bolak-balik ke kota
kecamatan. Bagaimana mungkin ia bisa menjanjikan itu?
"Dali tidak ingin sekolah. SUNGGUH—"
"DIAM!" Suara Kak Laisa bergetar.
"Kau tetap sekolah Dali!"
Dalimunte terisak, mengusap matanya. Tertunduk dalam-dalam. Lihatlah, gara-gara dia
harus sekolah Kak Laisa harus bekerja sepanjang hari di ladang. Kenapa hanya Kak Laisa
yang bekerja keras. Dali juga bisa. Dali juga mau, agar Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta terus
sekolah.
Rinai air hujan tumpah bersama rinai kesedihan di hati Dalimunte.
"Tidak tahun ini, tidak sekarang.... Tapi kau harus terus sekolah, Dali...."
Laisa berbisik pelan memecah sedan.
"Jika Mamak tidak punya uang tahun ini, maka Mamak akan punya tahun depan... paling
lambat tahun depan kau harus kembali sekolah... Kau dengar kakak... kau dengar kakak,
Dali? Kakak, kakak berjanji akan melakukannya Sungguh—"
Laisa mengenggam lengan adiknya. Berusaha menahan serak di kerongkongan. Ia tidak ingin
menangis di depan Dalimunte.
Lihattah, sebenarnya kalau kalian tidak terbiasa dengan pemandangan ini, maka kalian
akan menduga, justru Laisa lah yang menjadi adik dari Dalimunte. Padahal mereka hanya
berjarak enam tahun satu sama lain. Tubuh Laisa tidak akan tumbuh lagi.
Dalimunte membuang ingusnya.