Page 68 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 68
www.rajaebookgratis.com
hujan. Laisa mengikuti dari belakang. Tubuhnya yang tanpa pelindung apapun menggigil.
Tadi hampir satu jam ia mendaki lembah untuk tiba di kampung atas. Normalnya hanya
setengah jam, tapi di tengah jalan tadi, kakinya menghantam tunggul Batang kayu yang
sudah mati. Sakit sekali. Memar malah (esok lusa baru tahu kalau tulang mata kakinya
bergeser). Seperti ditusuk seratus sembilu saat berusaha dijejakkan ke tanah. Tapi Laisa
menggigit bibirnya kencang-kencang, terus mendaki lembah. Memaksa kakinya melupakan
rasa sakit. Rasa sakit yang sebenarnya membuat Laisa menitikkan air mata. Ia
mencengkeram pahanya. Mengusir rasa sakit di kaki. Yashinta menunggu pertolongan di
rumah. Ia harus maju terus. Maka sama sulitnya saat ia berlari- lari kecil mengikuti langkah
kakak-kakak mahasiswa didepannya menuruni lembah.
Mereka datang tepat waktu, kakak-kakak mahasiswa tahun terakhir di fakultas
kedokteran itu segera mengurus Yashinta. Membuka peralatan medisnya. Memeriksa
Yashinta dengan cepat. Lantas menyuntikkan sesuatu. Lepas lima menit, Yashinta mulai
lebih terkendali.
Sementara hujan deras terus membuncah atap seng.
Guntur menggelegar di luar sana.
Dalimunte menatap lamat-lamat Kak Laisa.
Kak Laisa yang duduk di dapur, dekat pintu belakang sejak tiba. Kak Laisa yang
meringkuk memegangi kakinya. Bengkak. Mata kaki itu terlihat merah. Wajah Kak Laisa
meringis, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Bahkan jika tidak tersamarkan oleh air
yang masih menetes dari rambutnya, dia sungguh bisa melihat Kak Laisa mengeluarkan air
mata. Jika tidak tersamarkan oleh gigilan kedinginan, dia bisa melihat Kak Laisa yang
gemetar menahan rasa nyilu di kakinya yang dipaksa terus berjalan menuruni lembah.
Dalimunte menelan ludah. Air hujan dari tubuh Kak Laisa tergenang di sekitarnya.
Membasahi lantai papan. Badan itu kuyup. Basah. Kedinginan. Kesakitan. Tapi Kak Laisa
tidak pernah mengeluh. Tidak pernah.
Laisa menyadari Dalimunte yang memperhatikannya. Ia menyeringai galak, menyuruh
Dalimunte kembali ke ruang depan. Tinggalkan aku. Aku baik-baik saja.
Dalimunte mengigit bibir, perlahan membalik badannya. Malam itu Dalimunte akhirnya
mengerti satu hal: Kak Laisa tidak akan pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak akan
pernah.
20
KAU HARUS TETAP SEKOLAH!
"DALIMUNTE baru saja tiba di perkebunan strawberry..."
Wibisana memasukkan telepon genggamnya ke saku. Ikanuri mengangguk. Terbatuk pelan.
Kerongkongannya sedikit sakit. Ini mungkin gara-gara kehujanan di Pegunungan Alpen,
Swiss semalam. Atau karena kelelahan, kurang tidur, setelah belasan jam tanpa jeda
melanglang buana. Atau juga karena dia terlalu banyak sesak mengenang masa kecil itu.
"Jasmine dan Wulan juga sudah tiba di kota kabupaten. Lancar. Perjalanan mereka tidak
banyak masalah. Kata Jasmine; Juwita dan Delima tertidur di mobil."
Wibisana menghela nafas. Jelas perjalanan akan lebih lancar jika kedua putri mereka
sudah tertidur. Biasanya mereka berdua sibuk minta berhenti setiap kali melihat apalah. Sibuk
berteriak-teriak, bertengkar. Pernah Juwita dan Delima membuat rombongan dari kota
provinsi terhenti total hanya gara-gara mereka melihat ada burung kwao yang melintas di
depan mobil, lantas hinggap di pohon. Memaksa Abi mereka menangkap burung itu, tidak
mau mendengarkan penjelasan kalau tinggi pohonnya saja hampir dua puluh meter.
Ikanuri mengusap wajah lelahnya.
Layar raksasa penunjuk jadwal dan status penerbangan di langit-langit gedung ultra-
modern Paris International Airport memamerkan kecanggihannya. Tidak kurang tiga puluh