Page 59 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 59

www.rajaebookgratis.com





                   Dalimunte  menelan  ludah.  Menatap  wajah-wajah  bersimpati  itu.  Balas  memeluk.  Dia
               mengenalinya.  Amat  mengenal.  Mereka  adalah  tetangga-tetangga  kampung.  Satu  dua
               terhitung  teman  sepermainan  masa  kecil.  Mereka  seperti  sedang  bersiap.  Bukan.  Bukan
               bersiap menyambutnya. Bersiap untuk urusan lain. Dalimunte sekali lagi menelan ludah
               "Ayo, kalian jangan menghalangi Dali, biarkan dia masuk—"
               Seorang lelaki setengah baya berkata tegas, menyeringai, menyuruh kerumunan menyingkir.
               Itu Bang Jogar, pemuda yang paling banyak bertanya soal urusan lima kincir air dulu di balai
               kampung.  Umurnya  sekarang  lima  puluh.  Kepala  kampung  (jika  lembah  indah  itu  masih
               layak  disebut  kampung).  Wak  Burhan  sudah  meninggal  sepuluh  tahun  silam.  Bang  Jogar
               dipilih dengan suara bulat oleh penduduk menjadi penerus. Kerumunan tetangga menyibak.
               Memberikan jalan.
               "Ayo, Dali. Mamak Lainuri sudah menunggu kau dari tadi—" Dalimunte mengangguk,
               "Apa Kak Laisa baik-baik-baik saja?"
               "Aku tidak tahu, Dali. Dokter lebih tahu urusan itu  kan tahu, abang-abangmu ini di kampung
               mana pernah sekolah hingga kelas enam kecuali kau dan anak-anak kami sekarang," Bang
               Jogar tertawa, bergurau, mencoba menghibur  Dalimunte yang cemas.
               "Tapi terakhir kali aku atas, lima menit lalu, Laisa sudah siuman. Kata Mamak Lainuri, Laisa
               sempat bicara dengan Ikanuri dan Wibisana lewat telepun, Hei! Kalian bantulah  koper-koper
               Dalimunte dari mobil. Jangan macam anak  uwa, sibuk menonton saja. Atau seperti kubilang
               tadi, ikut mengaji yasin di surau sana!—"
               Bang Jogar meneriaki pemuda-pemuda tanggung di kursi bambu,
                   Cie Hui, istri Daiimunte membantu Intan, yang baru bangun tidur, turun dari mobil. Intan
               menggendong ransel sekolahnya, menyeka anak rambut dari kening. Tadi sempat tertidur di
               mobil. Dibangunkan Abi persis masuk areal perkebunan strawberry. Si belang sudah loncat
               saat  pintu  mobil  dibuka.  Hamster  itu  amat  familiar  dengan  areal  perkebunan.  Setiap  dua
               bulan  mereka pulang, si  belang selalu  ikut. Malah  menurut Oom Ikanuri, si  belang punya
               pacar hamster  liar  lembah. Ah, pasti Oom Ikanuri ngibul, kan Oom Ikanuri  memang suka
               bohong.  Dalimunte  beranjak  menaiki  anak  tangga,  diikuti  Cie  Hui  dan  Intan  (yang  masih
               menguap).
                   Menghela nafas tertahan, masuk ke ruang depan. Ruangan yang dulu menjadi tempat dia,
               Ikanuri dan Wibisana tidur bertiga. Dengan sarung beralaskan tikar pandan, bersama angin
               malam yang menembus dinding berlubang. Dalimunte menatap sekitar, beberapa ibu-ibu dan
               anak gadis tetangga berkerudung rapi, duduk di tepi-tepi ruangan, melingkar membaca yasin
               bersama-sama.  Kebiasaan  setempat  jika  ada  urusan  seperti  ini.  Di  surau  kampung  yang
               sekarang  berubah  menjadi  masjid  kecil  tapi  megah,  lelaki  dewasa  juga  bersama-sama
               membaca yasin. Suara mereka terdengar hingga sini.
                   Dalimunte menelan ludah untuk kesekian kalinya. Jika sudah sampai membaca yasin agar
               yang  sakit  dimudahkan  urusannya,  berarti  sakit  Kak  Laisa  serius  sekali.  Menghela  nafas
               pelan.  Terus  melangkah  menuju  kamar  Kak  Laisa.  Wajah-wajah  terangkat,  melihat
               rombongan. Tersenyum kepada Intan  yang  menoleh ke  sana  ke  mari. Intan  hanya  nyengir
               membalas tatapan itu, berpikir pendek, ramai betul lagi ada kendurian, ya?
                   Apa yang sebenamya terjadi? Dalimunte mengusap wajah.
                   Bagaimana mungkin semua tiba-tiba jadi terlihat sendu seperti ini?
                   Bukankah satu bulan lalu saat mereka pulang bersama, jadwal berkumpul rutin mereka,
               Kak  Laisa  terlihat  sehat-sehat?  Tertawa-tawa  menggendong  Intan,  Juwita  dan  Delima
               bergiliran  menuruni  dinding  cadas  sungai.  Berkeliling  kebun  strawberry  dengan  sepeda
               BMX.  Mengawasi  gudang  penyimpanan.  Bahkan  Kak  Laisa  masih  sempat-sempatnya
               mencari sendiri umbut (ujung rotan) di hutan untuk membuat masakan surprise bagi mereka.
               Menu favorit Yashinta, Ikanuri dan Wibisana, dan juga ponakannya.
   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64