Page 54 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 54

www.rajaebookgratis.com





               harimau.  Karena  legenda  itu  mewariskan pemahaman  bahwa  harimau  yang  ada di  puncak
               gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri.
                   Sejak  delapan  tahun  silam,  populasi  harimau  di  Gunung  Kendeng  sebenamya  semakin
               terdesak.  Perambah  hutan  membuat  mereka  mulai  tersingkir.  Belum  lagi  harga  kulit  dan
               taring  mereka  yang  mahal.  Harimau  Gunung  Kendeng,  diburu  oleh  kelompok-kelompok
               pemburu profesional dari kota provinsi. Dengan bedil. Perangkap besi. Legenda itu tinggal
               cerita  belaka.  Tinggal  sebutan,  nama-nama.  Tidak  ada  penduduk  yang  menganggapnya
               serius. Masih disampaikan kepada anak-anak hanya agar mereka mengerti kalau gunung itu
               berbahaya.  Tapi  meskipun  begitu,  semua  penduduk  mengerti  benar  berapa  pun  jumlahnya
               sekarang harimau tetaplah binatang berbahaya.
                   Setengah jam berlalu dari kejadian hebat itu....
                   Setelah sepotong lereng gunung tempat tiga harimau tadi bersiap menerkam Ikanuri dan
               Wibisana  kembali  ramai  oleh  derik  jangkrik,  ramai  kembali  oleh  serangga  malam,  Laisa
               menuntun adik-adiknya, pulang. Obor sudah padam. Tidak sengaja padam saat kejadian seru
               tadi.  Tombak  Dalimunte  juga  entah  tercecer  di  mana.  Terjatuh.  Tidak  ada  yang  sempat
               memikirkannya. Mereka berjalan pelan. Beriringan. Ikanuri dan Wibisana  yang  mulai  bisa
               bernafas normal melangkah tertunduk di depan. Sementara masih banyak sekali pertanyaan
               yang menyesaki kepala Dalimunte.
                   Laisa tidak banyak bicara. Ujung tangannya masih berkedut sekali dua. Kakinya masih
               sering gemetar menopang tubuh. Sisa perasaan gentarnya tadi saat tiga harimau itu bersiap
               menerkam. Tapi karena ia ingin buru-buru pulang, agar Mamak tak terlalu lama menunggu,
               tak  terlalu  lama  menanggung  cemas,  Laisa  meneguhkan  hati,  membujuk  kakinya  agar
               berjalan senormal mungkin.
                   Menjelang larik jingga muncul di ufuk sana, menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat
               Wak Burhan dan penduduk kampung masih sibuk dan mulai putus asa mencari Ikanuri dan
               Wibisana, mereka tiba di gerbang hutan seberang dinding
                   Kerlip kunang-kunang lebih ramai di sini.
                   Terbang berkelompok. Beranjak pulang ke sarang.
                   Langkah Laisa terhenti. Menatap cahaya mereka yang indah.
               "Ikanuri, Wibisana, Dalimunte...."
               Berkata pelan. Langkah adik-adiknya di depan ikut terhenti.
               "Lihatlah! Kunang-kunang yang indah—" Ikanuri dan Wibisana mengangkat kepalanya.
               "Suatu hari nanti...."  Kak Laisa terdiam  sebentar,  ia tersenyum amat tulus sambil menatap
               wajah  adik-adiknya  di  remang  semburat  merah  langit,  wajahnya  sungguh  kontras  dengan
               mereka, ia berkulit hitam, sementara adik-adiknya putih, ia berambut gimbal, sementara adik-
               adiknya lurus,
               "Suatu hari nanti, sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip cahaya lampu yang jauh lebih
               indah di luar sana, di luar lembah kita...
                   Satu kunang-kunang berdesing di depan mereka.
                   Kepala Dalimunte tertunduk.
               "Ikanuri,  Wibisana,  suatu  saat  nanti  kalian  akan  melihat  betapa  hebatnya  kehidupan  ini....
               Betapa indahnya kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah....
               Kakak berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua ini terwujud...."
                   Dalimunte menyeka ingusnya.
               "Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak, kalian harus rajin
               sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang
               hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian
               harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan
               yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...."
               Dalimunte sudah menangis pelan.
   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59