Page 55 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 55

www.rajaebookgratis.com





               "Kelak kalian akan melihat kerlip cahaya yang lebih indah...."
                   Dalimunte sudah terisak.
                   Dia mengerti. Amat mengerti segalanya—

                   Juga di sini Ikanuri juga benar-benar menangis.
                   Lihatlah! Menara Eiffel terlihat cemerlang. Penghujung tahun begini.
                   Menara Eiffel bagai pohon natal raksasa. Kerlip berjuta lampu kota Paris yang tersaput
               selimut salju putih tak mau kalah, terlihat begitu mempesona. Seperti sejuta kunang-kunang.
               Menyeruak berpendar-pendar.
                   Ikanuri mendekap wajahnya.  Umurnya sekarang tiga puluh enam. Wibisana tiga puluh
               tujuh.  Kejadian  itu  lebih  seperempat  abad  silam  berlalu.  Ya  Allah,  Kak  Laisa,  Kak  Laisa
               tidak pernah datang terlambat untuk mereka. Tidak sedikit pun. Seperti kalimat Kak Laisa
               pagi itu, Kak Laisa menunaikan seluruh janjinya. Tidak ingkar sekalipun. Tidak pernah....
                   Kereta  eskpress  Eurostar  itu  melesat  membelah  indahnya  kota  Paris.  Semburat  merah
               muncul  di  angkasa.  Pagi  datang  menjelang.  Membuat  gemeriap  lampu  kota  yang  belum
               dimatikan terlihat begitu menawan. Kabut pagi menambahinya. Syahdu.
               "Sudahlah, Ikanuri—" Wibisana mendekap bahu adiknya.
               "Kau tahu.... Kau tahu, waktu itu aku mengatakan Kak Laisa bukan kakak kita. Kau tahu itu!"
               Ikanuri  tersedak.  Mendekap  wajahnya.  Dia  tidak  bisa  menahan  lagi  perasaan  itu.  Dan
               melihatnya tertunduk menangis sungguh menyedihkan. Wahai, kalian akan lebih terharu saat
               melihat  seseorang  yang  selama  dikenal  nakal,  tukang  jahil,  bebal,  atau  apalah  tiba-tiba
               menangis.
               Sungguh.
               "Kak Laisa tidak pernah marah dengan itu, Ikanuri."
               Wibisana mengusap bahu adiknya.
                   Ikanuri justru tersedan lebih keras. Itu benar sekali. Kak Laisa tidak pernah marah soal itu
               sedikitpun.  Tidak  pernah.  Bahkan  Kak  Laisa  tidak  pernah  mengungkit-ungkitnya  lagi.  Ya
               Allah, karena itulah dia merasa bersalah sekali. Menyesalinya sepanjang hidup. Dua puluh
               lima tahun berlalu, ketika takdir kehidupan yang lebih baik menjemput keluarga sederhana
               mereka di Lembah Lahambay, bahkan dia tidak pernah meminta maaf soal itu. Meski Kak
               Laisa sebenarnya sudah memaafkan detik itu juga di bawah pohon mangga tersebut. Tapi dia
               selama ini tidak pernah merasa harus meminta maaf. Bagainiana jika mereka terlambat dan
               tidak ada waktu lagi?
               "Tolong.... Tolong sambungkan sekali Iagi ke Mamak—"
               Ikanuri menyeka matanya. Berusaha mengendalikan diri.
                   Wibisana mengerti. Mengambil HP di saku. Pelan menekan nomor HP Mamak Lainuri.
               Tadi  berkali-kali  mereka  menelepon  ke  perkebunan  strawberry,  kata  Mamak,  Kak  Laisa
               masih tertidur (atau begitulah yang dokter bilang). Mereka tidak ingin membangunkan Kak
               Laisa. Biarlah mereka akan menelepon lagi.
               Suara tunggu itu bernyanyi satu kali. Dua kali.
               "Assalammualaikum...." Suara renta Mamak terdengar.
               "Waalaikumussalam..."
               Wibisana menelan ludah suaranya bergetar, berusaha tersenyum. Tangannya yang satu lagi
               masih mendekap bahu Ikanuri, menenangkan.
               "Kak Lais sudah bangun, Mak?—"
               "Sudah. Sebentar, anakku — "
                   Senyap.  Suara  Mamak  yang  bertanya  pada  dokter  terdengar  samar-samar.  Handsfree.
               Dokter mengaktifkan handsfree, agar Kak Laisa bisa bicara meski sambil terbaring,
               "Silahkan, Pak Wibisana, Pak Ikanuri, kalian bisa bicara sekarang, tapi jangan lama-lama, Ibu
               Laisa masih dalam kondisi kritis. Silahkan,—" Dokter berkata dari seberang.
   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60