Page 51 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 51
www.rajaebookgratis.com
Pukul 22.00 saat rombongan pencari mulai masuk ke hutan rimba, masalah mereka mulai
serius. Awan mendung yang menutupi langit membuat rimba gelap seketika. Hanya kerlip
kunang-kunang, tapi itu tidak membantu banyak. Apalagi tidak ada lagi jalan setapak. Tanpa
golok, mereka hanya menyibak dan mematahkan semak-belukar dengan tangan untuk
memudahkan langkah. Sekali dua beristirahat. Bersitatap satu sama lain. Semakin masuk ke
dalam, mereka berdua semakin menyadari ini semua keliru. Benar-benar keliru. Mereka
terlalu menganggap sepele banyak hal. Menggampangkan masalah. Salah perhitungan.
Pukul 24.00 saat Laisa dan Dalimunte menyusul, Ikanuri dan Wibisana benar-benar
dalam masalah. Mereka masih jauh dari kota kecamatan, jangankan kota kecamatan, puncak
Gunung Kendeng pun belum terlihat. Mereka tertahan di punggung Gunung Kendeng.
Ikanuri dan Wibisana tersesat. Dua anak kecil yang meski amat ringan menganggap semua
perkataan orang, jelas-jelas masih anak kecil, mulai mengkerut ketakutan saat menyadari
setiap lima belas menit mereka berjalan, mereka sempurna kembali lagi ke titik semula.
Berputar-putar.
Begitu-begitu saja.
Ikanuri mulai mengeluh. Wibisana mengusap dahinya yang berkeringat. Ini semua
menakutkan.... Dan, hei, bukankah mereka pernah (sebenarnya sering) mendengar kisah
tentang harimau Gunung Kendeng yang dulu setiap tahun mencari tumbal? Hei, bukankah
Babak juga salah satu dari tumbal itu. Cemas. Ikanuri dan Wibisana tersengal. Berjalan
semakin cepat. Percuma. Kembali lagi ke titik semula. Hei, bukankah ini pertanda sang
siluman mengeluarkan jerat pamungkasnya?
Pukul 02.00, sempurna sudah keduanya mengkerut takut. Setelah hampir dua jam hanya
bolak-balik di tempat yang sama, mereka memutuskan untuk bertahan di Sana. Menunggu
besok, ketika cahaya matahari memudahkan menentukan arah. Wajah mereka pucat oleh
perasaan gentar, cemas. Tubuh mereka mulai gemetar. Sedikit saja suara gerakan di sekitar,
cukup sudah untak membuat jantung mereka berdetak lebih kencang. Ikanuri dan Wibisana
berdiri saling membelakangi punggung. Mematahkan batang semak belukar yang besar,
berusaha mempersenjatai diri.
Saat itu, Laisa dan Dalimunte sudah dekat sekali.
Tetapi pukul 02.30 mendadak hutan di sekitar mereka lengang. SEMPURNA
LENGANG. Seperti ada yang jahil menekan mati tombol volume derik jangkrik dan
serangga lainnya.
Ikanuri dan Wibisana saling menoleh. Bersitatap dengan cahaya mata redup. Ganjil
sekali. Suasana hutan yang mendadak lengang terasa amat ganjil. Bahkan angin pun seolah
takut berdesau. Langit gelap, pekat. Awan hitam menutupi berjuta bintang dan bulan. Hanya
nafas cepat mereka yang menderu.
Apa yang sedang terjadi? Ada apa?
Wahai, kalian seharusnya lima kali lebih takut saat di sekitar kalian mendadak senyap,
hening. Bukan takut saat mendadak ada suara teriakan atau cekikikan. Wahai, senyap yang
datang tiba-tiba, itu berarti pertanda ada maut besar yang mengintai. Pertanda kehadiran
kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan itu benar.
Saat itulah, lima belas detik kemudian, suara gerung pelan itu terdengar menggantung di
langit-langit hutan rimba. Awalnya pelan, semakin lama semakin mengeras. Gerungan maut
sang siluman.
"RRRRR-"
Ikanuri dan Wibisana seperti sudah mati rasa. Berdiri kaku. Terkencing-kencing.
"RRRRR-"
Mata-mata itu terlihat menakutkan dari balik semak. Cemerlang.
Mengerikan. Semakin mendekat. Semak belukar itu pelan bergoyang, lantas tersibak.
Tiga harimau dewasa sebesar anak sapi mendekat. Berkilauan kuning legam dengan loreng