Page 50 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 50
www.rajaebookgratis.com
Hening lagi. Desau suara pendingin kabin terdengar pelan.
Cahaya lampu rumah-rumah pinggiran Perancis terlihat. Lebih banyak lagi perkebunan
anggur. Di luar Sana masih gelap. Wibisana menatap datar wajah adiknya.
"Aku hanya takut. Takut terlambat tiba—"
Ikanuri berkata pelan. Tertunduk menatap keluar jendela. Berusaha menyeka matanya.
Wibisana menelan ludah. Menepuk lembut bahu Ikanuri.
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak akan...."
Ikanuri hanya diam. Berusaha mengendalikan dirinya.
"Kau tahu, kenapa?" Wibisana tersenyum getir.
Ikanuri menoleh. Susah sekali menyembunyikan perasaan hati. Susah. Sejak tadi, sejak
seluruh kenangan itu buncah kembali memenuhi memori kepalanya, semua terasa sesak.
Matanya berkaca-kaca lagi. Sejak tadi dia menangis, malah tanpa sengaja membuat Wibisana
terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa berpura-pura lagi. Mengenang semua itu membuatnya
benar- benar tersentuh. Biarlah. Biarlah Wibisana melihatnya menangis. Maka Ikanuri
tergugu menyeka pipinya.
Wibisana menelan ludah, terdiam sejenak... Menatap wajah sendu Ikanuri lamat-lamat,
lantas mengulang pertanyaan itu dengan segenap perasaan,
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri.... Kau tahu, kenapa?"
Ikanuri menggeleng, pelan.
"Ka-re-na.... Karena Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak
Laisa tidak pernah sedetik pun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita... Kak Laisa tidak
pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya... Ya Allah...."
Suara Wibisana terputus.
Menggantung di langit-langit kabin. Hilang ditelan suaranya sendiri yang bergetar, Wibisana
ikut tertunduk.
Ikanuri menyeka matanya. Terisak lebih kencang.
Kereta ekspress Eurostar itu terus melesat menuju Paris!
Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.
Karena malam itu sempuma sudah Laisa menunaikan janjinya. Tepat waktu. Tak
terlambat sedetik pun. Selepas dari pohon mangga Wak Burhan, usai bertengkar dengan Kak
Laisa, Ikanuri dan Wibisana memang akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah. Mereka
berpikir pendek: Kak Laisa pasti mengadu ke Mamak tentang mencuri mangga. Kak Laisa
pasti juga mengadu kalau mereka sudah menghinanya soal bukan kakak kami itu. Jadi
mereka pasti disuruh tidur di bale bambu bawah rumah. Bisa jadi dihukum selama seminggu.
Tidur di luar selama seminggu itu sama saje dengan mengusir mereka. Sekalian, kalau begitu
lebih baik mereka kabur saja.
Mereka tidak ingin kabur ke desa atas. Pasti segera ketahuan. Setelah berdebat sebentar,
Ikanuri dan Wibisana memutuskan kabur ke kota kecamatan. Ada dua puluh kilo jika mereka
harus berjalan lewat jalan batu lebar tiga meter itu. Artinya mungkin baru besok siang tiba di
sana. Terlalu lambat, masih bisa disusul oleh starwgoon yang berangkat pagi-pagi buta, dan
pelarian mereka diketahui. Maka tanpa berpikir panjang, Ikanuri dan Wibisana mengambil
jalan pintas. Gunung Kendeng. Mereka tahu jalan pintas itu dari percakapan orang-orang,
pemburu, di kota kecamatan dua minggu lalu.
Berangkatlah dua kakak-adik nakal itu. Agak sedikit lambat, memutari desa, karena tidak
mungkin melewati pinggiran sungai tempat orang-orang sedang bekerja membuat kincir.
Pukul 20.00, saat pertama kali Mamak berlari ke rumah Wak Burhan, mereka berdua baru
setengah jam perjalanan dari gerbang masuk ke dalam hutan rimba. Melangkah pasti.
Bintang-gemintang dan bulan malam tiga-belas membuat perjalanan mereka mudah
dilakukan, meski tanpa bantuan obor dan golok.