Page 46 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 46

www.rajaebookgratis.com





               masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas
               sungai. Itupun harus berombongan.
                   Dua anak kecil?
                   Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut merasakan ketegangan
               yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak tangga. Semoga adik-adiknya tidak
               kenapa-napa.  Semoga  mereka  hanya  bermain  di  desa  atas,  memutuskan  untuk  tidak  mau
               pulang. Atau entah pergi ke manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu
               serentak  menyergapnya.  Ya  Allah!  Wajah  robek  tak  berbentuk.  Tubuh  tercabik-cabik
               bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat sekali.
                   Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya.
                   Hanya  dalam  waktu  lima  belas  detik.  Beduk  masjid  melenguh  kencang.  Kentongan
               bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu. Semua penduduk kampung
               keluar.  Hilang  sudah  lelah  tadi  siang.  Disingkirkan  jauh-jauh.  Benar-benar  rusuh.  Mereka
               mengenali  ramai  bunyi  kentongan  itu.  Terakhir  terdengar  dipukul  delapan  tahun  silam.
               Mereka berkumpul di balai kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak.
               Apa  saja  senjata  yang  bisa  dibawa.  Wajah-wajah  cemas.  Tegang.  Balai  kampung  ramai
               kembali.
                   Wak  Burhan  berdiri  di  tengah-tengah  balai  kampung,  Kerlip  cahaya  obor  membasuh
               wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi dia masih gagah. Masih
               tegap  sekali.  Dalam  situasi  serius  seperti  ini,  kedut  wajahnya  terlihat  amat  mengesankan.
               Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan
               padanya.
               "Dua  orang  mencari  ke  desa  atas.  Dua  orang  mencari  ke  desa  seberang.  Kau  dan  teman-
               temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...."
               Wak Burhan membagi kelompok-kelompok dengan cepat.
               "Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung Kendeng, semua kembali ke
               sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan juga, seluruh rombongan akan dipecah dua,
               kita harus menyusuri hutan rimba. Kita harus melakukannya—"
                   Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.
                   Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya terduduk di kursi
               bambu.  Dipegangi  oleh  ibu-ibu  lainnya.  Mamak  semaput.  Wajahnya  pucat  oleh  perasaan
               gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas
               di  depannya.  Wak  Burhan  yang  waktu  itu  lebih  muda,  juga  dengan  cepat  memberikan
               perintah. Orang-orang yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan
               hasilnya?
                   Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi.
                   Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak.
                   Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk tertunduk di dekatnya,
               gentar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu kecil untuk ingat banyak kejadian.
               Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
               "Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?"
                   Laisa mengangguk pelan ke arah Dalimunte.
                   Cahaya  obor  rombongan  pencari  yang  bergerak  terlihat  mulai  menjauh.  Ada  yang
               menaiki  lembah,  ke  desa  atas.  Menyeberangi  ladang-ladang.  Ke  kiri.  Ke  kanan.  Kerlap-
               kerlip.  Meski  nyaris  separuh  penduduk  kampung  mencari  Ikanuri  dan  Wibisana,  balai
               kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa anggota keluarganya ke sini. Tidak ada
               yang ingin meninggalkan anak-anaknya di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan
               tadi. Mereka bermalam di balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling
               bersitatap ketakutan.
   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51