Page 44 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 44

www.rajaebookgratis.com





               dikatakan adiknya benar sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka.
               Seluruh penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.
                   Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar.
                   Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.
                   Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super
               tinggi. Maximum speed. Masinisnya  berusaha  membayar dua  jam waktu  yang terbuang  di
               pegunungan  Alpen.  Setelah  untuk  ketiga  kalinya  tebing  itu  longsor  lagi  saat  dibersihkan,
               beberapa  insinyur  dari  dewan    terdekat  akhirnya  tiba  di  lokasi  dengan  helikopter,  mereka
               memberikan  saran  konstruksi  darurat  untuk  menahan  laju  longsoran  berikutnya.  Satu  jam
               berlalu, sejak dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju
               Paris. Menjejak batangan baja relnya.
                   Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti.
                   Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan oleh hamparan
               tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah
               tertinggal  di  belakang,  Sepuluh  menit  lagi  Eurostar  akan  tiba  di  perbatasan  tanah  bekas
               kekuasaan Kaisar Louis, Perancis. Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri
               yang sejak kereta berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat
               gelap.  Hanya  sesekali  cahaya  lampu  yang  berasal  dari  rumah  pedesaan  kecil  pedalaman
               Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah.
                   Mengembalikan semua kenangan.
                   Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya diisi berempat,
               karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya. Tapi Ikanuri
               tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujung-
               ujung matanya.
                   Ikanuri terisak pelan. Tertahan.
                   Menatap kosong keluar melewati jendela kereta.
                   Kunang-kunang—
                   Ya  Allah,  dia  jahat  sekali.  Jahat!  Dua  puluh  lima  tahun  silam.  Seperempat  abad  lalu.
               Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat
               itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat
               menusuk  itu.  Ikanuri  tersedan.  Lihatlah,  wajah  Kak  Laisa  sekarang  seperti  mengukir
               sempurna di  bayangan  jendela  kereta. Wajahnya  yang  tersenyum, wajahnya yang selalu
               melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua....
                   Ikanuri  tersungkur.  Tergugu.  Dia  benar-benar  tidak  tahan  lagi  Menangis  terisak.  Ya
               Allah,  jika ada  yang  bertanya siapa  yang paling penting dalam  hidupnya.... Jika ada  yang
               bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.

               14
               PENGUASA GUNUNG KENDENG
               CELAKA.  Benar-benar  celaka.  Kesibukan  penduduk  Lembah  Lahambay  hari  itu  ternyata
               tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24 jam.
                   Menjelang  maghrib  setelah  dipotong  istirahat  shalat  ashar,  lima  kincir  air  itu  sudah
               berderet  rapi  di  dinding  cadas  sungai.  Lubang-lubang  pondasi  sudah  dituangi  cor  semen.
               Belum terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir itu baru akan dipasang minggu
               depan, jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering.
                   Wak  Burhan,  para  orang  tua,  pemuda  dewasa,  menyeringai  lega  melihat  pekerjaan
               mereka.  Lembah  mulai  remang,  Wak  Burhan  menghentikan  gotong-royong.  Cukup  untuk
               ahad  ini.  Kesibukan  di  pinggir  sungai  itu  memang  berhenti  ketika  mereka  beramai-ramai
               beranjak pulang. Mandi. Berganti pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat.
                   Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelum-sebelumnya.
   39   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49