Page 41 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 41
www.rajaebookgratis.com
Tidak ada. Laisa tidak menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba di rumah sepuluh
menit kemudian. Mungkin mereka bermain-main di desa atas. Laisa menyeka keringat di
leher. Matahari siang, terik membakar lembah. Dari surau, Wak Burhan mengumandangkan
adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata
kembali ke pinggir sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana. Maka tubuh gemuk dan gempal
Laisa beranjak menuruni anak tangga rumah panggung.
Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di desa atas. Starwagoon tua
itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang mengucur
semakin deras, satu kilo berjalan, sia-sia. Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak
itu suka bermain-main. Tidak ada. Mereka tidak ada di Curug Cuak (air terjun). Tidak ada
juga di jembatan gantung desa satunya lagi. Tidak ada di tempat biasa mereka mancing.
Tidak ada.
Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah pukul tiga. Laisa
dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari gerakan matahari dan bayangan
pepohonan. Di pinggir sungai, penduduk kampung sudah sejak tadi meneruskan pekerjaan.
Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik,
ia akan kembali ke sana sambil menyelusuri jalan yang berbeda dari berangkatnya tadi.
Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak itu tiduran di pondok rumbia ladang
padi mereka.
Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu membantu banyak di
tengah terik matahari awal musim kemarau. Kebun penduduk terlihat menguning. Batang
padi merekah oleh bilur-bilur buahnya yang montok. Sebulan lagi mereka panen bersama.
Penduduk kampung lembah itu umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga kali mereka
menanam padi, biasanya diganti dengan kopi atau lada. Atau diseling dengan jagung dan
sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan.
Setengah jam lagi berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di pondok rumbia ladang
mereka. Laisa mendengus sebal. Meneruskan langkah kaki. Harapan satu-satunya, dua anak
nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa
mulai putus asa, tanpa sengaja sudut matanya yang terlatih menangkap gerakan dedaunan
pohon mangga kebun Wak Burhan, di kejauhan lembah. Tidak lazim. Angin tidak akan
membuat cabangnya bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada uwa atau monyet yang
sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai "tembok besar" membuat kampung
mereka seolah terpisah dari hutan rimba.
Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap tajam pohon mangga yang sedang ranum-
ranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun seperti dipenuhi benjol-benjol buah yang besar-
besar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang lagi. Laisa melangkah semakin cepat. Tinggal
sepelemparan batu, tinggal lima belas meter, akhirnya ia bisa melihat bayangan yang
membuat pohon itu bergerak.
"Cepat, Ikanuri—" Berbisik tertahan.
"Sebentar." Suara itu ikut tertahan.
"Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun..."
"Sebentar, celanaku tersangkut—"
GEDEBUK!
Ikanuri yang bergegas turun dari pohon mangga malah terjatuh, kehilangan keseimbang
saat buru-buru, menimpa Wibisana yang sudah turun duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu
meter, karena mereka sudah tiba di dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal
total. Ikanuri yang sibuk mengaduh selama lima detik, memberikan waktu yang cukup bagi
Laisa untuk mengenali siapa.
"IKANURI! WIBISANA!"