Page 40 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 40

www.rajaebookgratis.com





               "Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana?" Mamak bertanya pelan.
               "Ee.. bukannya tadi ada di sana, Mak?" Laisa menoleh, menyeka dahinya, melepas gagang
               pelepah  nyiur,  uap  mengepul  dari  dandang  besar  penanak  nasi,  menunjuk  kelompok  anak
               lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa.
               "Tidak ada, Lais"
               "Ee, tadi ada di sana, Mak...."
               "Benar-benar sigung bebal! Kemana pula mereka pergi ketika semua sedang sibuk bekerja.
               Bikin malu keluarga saja!"
               Mamak Lainuri mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala.
                   Laisa  menelan  ludah.  Mengangguk  dalam  hati.  Kemana  pula  Ikanuri  dan  Wibisana
               sekarang.  Lihatlah,  semua  penduduk  kampung  berkumpul  di  sini,  bergotong-royong,  dan
               mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas
               Yashinta sedang tertawa bersama teman sepantarannya, ada satu yang terpeleset di air saat
               membawa  keranjang  pasir,  basah  kuyup.  Di  sisi  lain,  Dalimunte  masih  sibuk  menunjuk-
               nunjuk kincir air yang mulai berbentuk. Tidak ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak ada di
               antara anak-anak lainnya.
               "Apa perlu Lais cari, Mak?"
               Mamak Lainuri berpikir cepat,
               "Nanti. Lepas dzuhur kalau tidak kelihatan  juga  ekornya, kau cari  mereka. Dasar tak tahu
               malu.  Tidak  pernah  ada  di  keluarga  kita  yang  berpangku  tangan  saat  orang  lain  sibuk
               bekerja—" Mamak mengomel tertahan.
               "Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi, Mak!"
                   Muka  Mamak  mendadak  memerah.  Sebal.  Kemungkinan  itu  benar-benar  membuat
               Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin minggu lalu.
               "Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil sesuatu—"
               Laisa  menelan  ludah.  Menyesal  kemungkinan  soal  starwagoon  itu.  Mencoba  membuat
               Mamak lebih nyaman. Percuma. Kalimat itu keliru, kalau dengan Laisa saja mereka berdua
               enggan  menurut, apalagi dengan Dalimunte. Mana  mau  mereka disuruh-suruh  begitu. Dan
               jelas Laisa keliru kalau membayangkan urusan kali ini sesederhana itu.
                   Menjelang dzuhur, dua kincir air selesai. Dengan pasak besi, bebatan batang rotan, kincir
               bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum senang,
               juga  yang  lain.  Sejauh  ini  rancangan  Dalimunte  hanya  keliru  satu  hal,  jumlah  potongan
               bambu yang dibutuhkan. Beberapa lelaki dewasa terpaksa masuk lagi ke hutan, mengambil
               belasan bambu berikutnya.
               "Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga—"
               Laisa berbisik ke Mamak.
                   Muka  Mamak  yang  sedang  membawa  piring-piring  plastik  kentara  sekali  jengkel.
               Sementara  penduduk  kampung  berkumpul  di  pinggir  sungai,  duduk  membuat  kelompok-
               kelompok  di  atas  bebatuan.  Wak  Burhan  menyuruh  mereka  makan  siang.  Istirahat  hingga
               satu jam ke depan. Beberapa selepas makan beranjak ke surau. Shalat dzhuhur.
               "Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu kemari—"
               Mamak  menahan  marah.  Bagaimana  pula  ia  tak  marah,  tadi  salah  satu  tetangga  sebelah
               rumah  sempat  bertanya  di  mana  Ikanuri  dan  Wibisana.  Pertanyaan  itu  tidak  serius,  hanya
               bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang? Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis,
               mengangguk. Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali.
                   Laisa  tidak  perlu  diperintah  dua  kali,  segera  bergegas  meletakkan  ceret  air  yang
               digunakannya  untuk  mengisi  gelas-gelas.  Melepas  kain  celemek  butut.  Lantas  beranjak
               menyeberangi sungai. Ia sama sekali tidak punya ide di mana Ikanuri dan Wibisana berada.
               Meski  begitu, tempat  yang pertama  kali  harus diperiksa adalah rumah. Siapa tahu  mereka
               berdua sedang tidur mendengkur di bale bambu.
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45