Page 42 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 42

www.rajaebookgratis.com





               Persis  seperti  radio  yang  tiba-tiba  disetel  kencang-kencang.  Laisa  berseru  galak.  Berlari
               mendekat.
                   Ikanuri  dan  Wibisana  tersedak.  Menatap  jerih  Kak  Laisa  yang  mendekat.  Berusaha
               menyembunyikan bukti kejahatan
               "APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?"
               "Ergh, ee, kita sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan, benar begitu kan, Wibi?—"
               Ikanuri  menjawab  cepat,  khas  Ikanuri,  seadanya  bin  ngarang,  dengan  wajah  sama  sekali
               merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah begonya ikut mengangguk,
               "Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu—"
               "DIAM!!"
               "Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh—"
               "DIAM!!  Kalian  benar-benar tak tahu  malu! Semua orang  bekerja di  cadas  sungai, kalian
               justru di sini. MENCURI MANGGA!"
               Kak  Laisa  semakin  galak,  semakin  dekat,  tangannya  cepat  mematahkan  salah  satu  ujung
               dahan semak  belukar.
                   Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut mundur. Laisa
               semakin  dekat.  Tertahan,  gerakan  Ikanuri  dan  Wibisana  tertahan  pohon  mangga  di
               belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah sempurna ke dada mereka berdua.
               "Katakan apa ini? Apa yang kau lihat?"
               Kak  Laisa  menunjuk  dua-tiga  buah  mangga  hampir  ranum  yang  tergeletak  di  ujung  kaki
               mereka. Terjatuh dari saku celana.
               "Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi?"
               "Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan—"
               Kak Laisa benar-benar jengkel.
               "Berani  sekali  kalian  mencurinya.  BERANI  SEKALI  Tidak  ada  di  keluarga  kita  yang
               menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA."
               Kak Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri.
                   Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah
               kebal dipukul Kak Laisa.
               "Apa  yang  kalian  lakukan  sepanjang  siang?  Main-main  di  Curug  Cuak?  Lantas  pulang
               mencuri mangga Wak Burhan Tidak tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak Burhan kalau
               dia tahu! APA COBA!?"
                   Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam.
               "Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU JADI APA??" Kak
               Laisa mendesis.
               "Kalau  Mamak  tahu  kalian  mencuri  lagi,  kalian  pasti  dihukum  tidak  boleh  masuk  rumah
               malam ini. Kalau Mama tahu...."
               Kak  Laisa  menelan  ludah,  berusaha  mengendalikan  diri.  Kalau  Mamak  tahu  Ikanuri  dan
               Wibisana ternyata justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan
               jadi marah besar.
               "Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang—"
               Laisa melotot, menatap galak. Memberikan perintah.
               Ikanuri dan Wibisana tetap bungkam seribu bahasa.
               "AYO, PULANG!"
               Tusukan ujung dahan  itu  semakin kencang, Ikanuri  meringis, tapi dia tetap tidak  beranjak
               berdiri.
               "PULANG KATAKU! SEKARANG!!"
               "TIDAK MAU!"
               Ikanuri entah apa yang sedang ada di kepalanya, tiba-tiba berteriak tidak kalah kencangnya.
               Melawan. Menepis kasar ujung dahan di dadanya.
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47