Page 45 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 45

www.rajaebookgratis.com





                   Laisa setelah hampir setengah jam menangis di bawah pohon mangga beranjak kembali
               ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha senormal mungkin saat bilang ke
               Mamak kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan
               justru  lari  menghindar  saat  disuruh  pulang.  Mamak  mengomel,  berjanji  dalam  hati  akan
               menghukum dua sigung itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak.
               Senja mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya duduk-
               duduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama teman-temannya.
                   Tetapi  keliru.  Laisa  yang  berpikir  Ikanuri  dan  Wibisana  setelah  pergi  meninggalkan
               dirinya  akan  kembali  ke  rumah  itu  keliru.  Juga  Mamak  yang  sudah  berencana  membuat
               aturan  main  baru  di  rumah  saat  mengomel  nanti  malam.  Keliru,  Ikanuri  dan  Wibisana
               ternyata  tidak  pulang-pulang.  Juga  saat  mereka  sudah  bersiap-siap  shalat  berjamaah.  Dua
               sigung itu tetap tidak kelihatan batang hidungnya.
                   Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan itu mulai tumbuh.
               Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan yang masih terbuka. Kemana pula
               dua anak nakalnya pergi?
                   Adzan isya. Lepas shalat isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit pun tidak kelihatan
               tanda-tanda  batang  hidung  Ikanuri  dan  Wibisana.  Mamak  semakin  cemas.  Menatap  siluet
               hutan rimba dengan nafas bergetar.
                   Pukul 19.30. Tegang sekali.
                   Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah.
                   Sejengkel  apapun  ia  dengan  Ikanuri  dan  Wibisana,  dawai  kecemasannya  sudah
               berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak
               Burhan. Kak Laisa, yang meski hatinya masih bagai buah tersayat-sayat sejak kejadian tadi
               sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.
               "Belum pulang bagaimana, Lainuri?"
               "Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!"
               Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.
               "Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya.
               "Sejak tadi siang—"
               "Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?"
               Wak Burhan menyambar obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak.
               "Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—"
               Laisa menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran itu. Tidak
               ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.
               "Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas.
               "Belum, Wak—"
               "Sekarang sudah hampir setengah sembilan,"
               Wak Burhan menyimak gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana,
               "Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan."
                   Mamak menelan ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.
               "Apa yang harus kulakukan, Bang?"
                   Wak  Burhan  bergumam.  Seperti  membaca  mantra  sajalah.  Berhitung  dengan  cepat.
               Lantas berseru cepat.
               "LAIS, BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh kumpul
               di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya.
               "Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!"
                   Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada di dekat hutan
               rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malam-malam begini ada sejuta mara
               bahaya  mengintai.  Pemuda  dewasa  saja  berpikir  dua  kali  kalau  harus  mencari  kumbang
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50