Page 56 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 56

www.rajaebookgratis.com





               Ikanuri dan Wibisana justru terdiam. Menelan ludah.
               "Kak Lais—" Bergetar.
               "I-ka-nu-ri?" Terbatuk.
               "Itu kau di sana, Ikanuri?—" Samar suara Kak Lais terdengar dari speaker telepon genggam.
                   Ikanuri seketika kehabisan kata-katanya, kecuali tangis.
                   Benar-benar kecuali tangis.
                   Satu minggu berlalu. Hari ini seluruh kampung bersuka-cita. Sejak shubuh mereka sudah
               berkumpul  di  pinggir  cadas.  Beramai-ramai,  bergotong-royong  memasang  kincir-kincir  di
               atas  pondasinya.  Benar,  Perhitungan  Dalimunte  sejauh  ini  tepat.  Saat  ikatannya  dilepas,
               kincir pertama yang terbenam di air sungai berderak mulai berputar mengikuti arus, sambil
               membawa air di ujung-ujung bumbungnya. Naik. Terus naik. Lantas tumpah persis di puncak
               kincir. Mengisi bumbung bambu kincir kedua. Kincir kedua pelan, mulai ikut berputar.
               "NAIK!  NAIK!  NAIK!"  Penduduk  kampung  berseru-seru.  Wajah  mereka  tegang.  Meski
               seringai  yakin  mulai  terpancar  di  sana-sini.  Kincir  mereka  kokoh,  pondasinya  kuat. Tidak
               akan ada yang salah. Susunannya tepat, konstruksinya baik. Percuma mereka punya jagoan
               pintar macam Dalimunte.
                   Kincir  air  kedua  sedikit  bergetar  membawa  air  terus  berputar.  Naik  ke  atas.  Tumpah.
               Mengisi bumbung kincir ketiga.
               "NAIK!  NAIK!  NAIK!"  Seruan  penduduk kampung semakin meriah. Satu-dua anak kecil
               malah bertepuk-tangan. Macam nonton kumedi putar di kota kecamatan. Wak Burhan yang
               berdiri  di  depan  kerumunan  melepas  topi  anyaman  rotan.  Menyeka  keringat  di  dahi,
               pertanyaan  terbesarnya  adalah  apa  cukup  kekuatan  air-air  yang  terus  mengalir  ke  atas  itu
               untuk  memutar  lima  kincir  air?  Dulu  saat  mereka  membuat  kincir  raksasa,  masalah
               terbesamya air deras sungai tidak cukup kuat memutarnya.
                   Tapi  kincir  air  yang  ketiga  justru  berputar  lebih  cepat.  Dalimunte  sudah  menghitung
               kemungkinan  itu.  Membuat  kincir-kincir  tersebut  proporsional  mengecil  hingga  ke  atas.
               Menyusunnya  dengan  posisi  lebih  condong,  lebih  mudah  digerakkan.  Dia  juga  membuat
               klahar bantalan pemutarnya jauh lebih licin dengan gemuk yang dibeli Wak Burhan dari kota
               kecamatan.
               "NAIK! NAIK! NAIK!"
               Kincir keempat bergerak meyakinkan.
               "NAIK! NAIK! NAIK!"
               Seruan semakin ramai. Yang membuat penduduk semakin yakin, sejauh ini air itu sudah naik
               empat meter, tinggal satu meter lagi. Tinggal satu kincir lagi.
                   Kincir kelima berderak sebentar. Pondasinya di dinding cadas bergetar. Membuat nafas
               tertahan. Bumbung bambu pertamanya menerima tumpahan air dari kincir keempat. Penuh.
                   Lantas pelan, mulai ikut berputar.
                   Dan  akhirnya,  air  dari  bumbungnya  tumpah  persis  di  atas  cadas  setinggi  lima  meter.
               Pinggir sungai itu buncah sudah oleh tawa-gembira. Seruan-seruan senang. Tepuk-tangan
               "Bah! Apa kubilang! Kita pasti berhasil!" Beberapa pemuda saling memukul lengan, tertawa.
               "Benar! Kita pasti berhasil!"
               "Bukan main, kau hebat Dali!"
               Yang lain mengangkat tubuh kecil Dalimunte. Mengaraknya ke tengah sungai. Tertawa lebih
               keras.
               "CBYUR!"Terjatuh.Terpeleset bebatuan.Pemuda-pemuda itu basah kuyup. Juga Dalimunte.
               Tertawa lebih lebar.
                   Wak Burhan menghembuskan nafas lega. Engkau sungguh baik ya, Rabb. Menatap wajah
               Dalimunte  yang  tertawa-tawa,  bangkit  dari  air  sungai  sedalam  pinggang.  Menatap  wajah
               Lainuri yang berdiri bersama ibu-ibu kampung lainnya. Wajah Lainuri yang tersenyum lebar.
   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61