Page 22 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 22

www.rajaebookgratis.com





                   Tadi  keluar  dari  Bandara  Roma  amat  terburu-buru.  Meneriaki  taksi  terburu-buru.
               Memaksa sopir taksi (yang keturunan India itu) untuk terburu-buru, ngebut menuju stasiun
               kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis setengah jam lagi Final Piala Champion di Stadion
               Olimpico,  penduduk  kota  Roma  sudah  dari  tadi  duduk  manis  di  stadion  atau  depan  teve
               masing-masing. Sialnya, meski lengang, di mana-mana ada konsentrasi massa yang bersiap
               nonton bareng lewat layar teve raksasa. Mending nontonnya di lapangan, ini justru digelar
               persis di tengah-tengah perempatan jalan.
                   Benarlah adigum itu, bagi penduduk Roma, sepak bola sudah jadi agama. Jadi, terpaksa
               taksi  berputar-putar  mencari  jalan  yang  perempatannya  tidak  vorbodden.  Itu  sama  saja
               menyisir seperempat kota Roma dengan kecepatan tak kurang 70 mil per-jam.
               "Aca, aca, ini lewat mana, hei?"
               Sopir India itu juga ikutan panik dengan teriakan-teriakan Ikanuri.
                   Setelah  berpikir  lima  belas  detik  di  depan  gadis  penunggu  counter  biro  perjalanan,
               Wibisana  akhirnya  memutuskan  untuk  segera  ke  Paris.  Itulah  pilihan  terbaik  yang  ada.
               Memutuskan  ke  Paris  dengan  menumpang  kereta  ekspres  lintas  negara,  Eurostar.  Soal
               perjalanan  menggunakan  kereta  api,  benua  Eropa  nomor  satu.  Di  sini,  untuk  mengililingi
               Eropa,  kalian  cukup  menumpang  kereta  lintas  negara.  Kabin  kereta  yang  nyaman,  bisa
               sekalian jadi hotel tempat beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot melewati
               pemeriksaan  paspor  dan  visa  setiap  kali  melintasi  perbatasan.  Ke  sanalah,  Ikanuri  dan
               Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.
               "Dipukul Kak Laisa berkali-kali? Maksudmu?"
               Ikanuri balik bertanya, sedikit bingung dengan kalimat kakaknya barusan. Wajahnya masih
               tegang sejak dari bandara tadi.
                   Wibisana tertawa kecil, berusaha lebih santai,
               "Kau sudah tiga kali memaki setengah jam terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa tahu, itu
               berarti sembilan kali pukulan sapu lidi —" Ikanuri nyengir. Mengerti kalau Wibisana sedang
               bergurau  soal  masa  kecil  dulu.  Terus  melangkah.  Mereka  akhirnya  tiba  di  depan  pintu
               gerbong kereta. Lampu peron berpendar-pendar menawan.
               "Tiketnya, Senior—"
               Wibisana menyerahkan tiket ke penjaga.
               "Paspor dan Visanya, Senior—"
               Ikanuri   menarik   travel-binder.   Tidak   banyak   cakap menyerahkan dokumen perjalanan,
               meski  tadi  sebenarnya  di  pintu  gerbang  stasiun  juga  sudah  diperlihatkan  kepada  petugas
               imigrasi.
               "Indonesia, Senior? Ah, saya tahu Pulau Bali. Cantik, bukan?"
               Wibisana dan Ikanuri mengangguk. Malas bicara.
               "Jika sempat suatu saat saya hendak ke sana, berlibur, menghabiskan masa pensiun.... Wah,
               kalian  jauh-jauh  dari  Indonesia,  tapi  tidak  untuk  menyaksikan  pertandingan  final  Liga
               Champion  Juventus-Manchester United, Senior?" Penjaga itu berbasa-basi.
                   Ikanuri kali ini benar-benar menggeleng tidak peduli.
               "Ah  saya  mengerti,  tim  sepakbola  negara  Anda  tidak  terlalu  bagus,  tidak  menarik  untuk
               ditonton, tapi di sini beda, senior...."
               Ikanuri mendesis sebal; buruan periksa tiketnya.
               "Selamat menikmati Eurostar, Senior. Semoga nyaman. Asal kalian tahu, gara-gara final itu,
               malam  ini  kami  hanya  punya  tujuh  penumpang….  Kecuali  jadwal  kereta  setelah  selesai
               pertandingan; nah yang itu baru full-booked!" Penjaga itu tertawa lebar, mengembalikan tiket
               ke Wibisana.
               Pintu otomatis kereta berdesis terbuka nyaris tanpa suara.
                   Ikanuri dan Wibisana tak terlalu mendengarkan tawa riang penjaga itu, sudah membawa
               koper masuk. Melangkah di sepanjang lorong. Mencari nomor kabin mereka. Melihat interior
   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27