Page 18 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 18
www.rajaebookgratis.com
Gerakan tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat.
Bertanya ingin-tahu.
" Wibisana! Ikanuri!"
Mamak Lainuri mendesis. Menyuruh dua sigung nakal itu diam.
Kedua anak lelaki itu kompak tertawa. Nyengir. Jangan pernah cerita sesuatu ke
Yashinta. Adik terkecil mereka benar-benar tipikal anak yang suka penasaran. Ingin tahu
segalanya. Tentu saja mereka tadi hanya bergurau. Seperti biasa mudah sekali menggoda
Yashinta. Tapi Mamak Lainuri tidak suka gurauan mereka. Tidak pantas menjadikan
'harimau' sebagai bahan bergurau.
"Lais berangkat, Mak. Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam. Jaga adikmu. Dan pulang segera, Lais. Hari ini banyak pekerjaan di
ladang!"
Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mengangguk. Sigap melangkah menuruni
anak tangga. Yushinta langsung ngintil mengikuti. Lihatlah, meski baru enam tahun,
Yashinta benar, ia sudah cukup besar untuk urusan ini. Tangkas menjejak rumput yang masih
berbilur kristal embun. Tubuhnya meski terlihat kecil dan ringkih, tidak kalah atletisnya
dibanding Kak Laisa yang gendut dan gempal.
Hutan, semakin lama semakin lebat.
Hiruk-pikuk burung memenuhi atas kepala semakin ramai. Seperti orkestra. Ada yang
berdengking, berkicau, bernyanyi, bahkan ada yang seperti ngoceh tanpa henti. Itu burung si
penggosip. Sibuk bicara, meski tidak penting. Dengking uwa (semacam monyet) dari
kejauhan menimpali. Kuak suara ayam hutan. Nyamuk besar-besar berdesing di atas kepala.
Sarang laba-laba. Mereka sudah berjalan hampir satu jam. Menyusuri jalan setapak yang
kadang ada, kadang hilang di tengah hutan.
"Masih jauh, Kak?"
Kak Laisa tidak menjawab.
"Masih jauh, Kak?"
"Ssst—" Kak Laisa menghentikan langkahnya.
Yashinta yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak, memegang lengan Kak
Laisa dari belakang. Ingin tahu. Menyeruak ke depan. Tapi Kak Laisa malah menahan
kepalanya. Mendelik menyuruhnya tetap di belakang. Dan tentu saja memberi kode: jangan
berisik. Mereka sejak lima belas menit tadi sudah turun dari jalan setapak, menyusuri sungai
kecil berbatu-batu itu.
Kak Laisa melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak perlu dijelaskan
dua kali, ikut melakukannya. Menghilangkan suara kecipak kaki di atas air. Lima belas
meter. Kak Laisa melangkah mengendap-endap menaiki tepi sungai. Yashinta tanpa banyak
bicara ikut. Kalau sudah begini, berang-berang itu pasti sudah dekat, deh. Yashinta nyengir
lebar. Juga ikut mendekam di balik sebatang pohon besar, di belakang Kak Laisa.
"Di depan sana—" Kak Laisa berbisik.
Wajah Yashinta sudah merah saking antusiasnya. Ia melapas caping anyamannya
(kepalanya gerah) lantas merangkak mengintip dari balik batang besar itu. Mana? Mana?
Mana? Suara getas ranting patah terdengar. Kak Laisa meucubit lengannya.
"Jangan berisik!" Mendesis.
Yashinta manyun sebentar. Kan tidak sengaja. Merangkak lebih hati-hati. Memperhatikan
tempat yang ditunjuk Kak Laisa. Memang ada bendungan tiga-lima meter di depan mereka.
Bendungan dari batang roboh yang persis melintang di tengah sungai. Yang sekarang
dipenuhi dedaunan, ranting-ranting, dan tanah liat.
Mana anak berang-berangnya? Yang ada hanya dua ekor burung Meninting. Sibuk
bercengkerama di atas bebatuan. Loncat-loncat. Mengembangkan sayap indah hitam
bergaris-garis putih milik mereka. Saling menggoda.