Page 15 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 15

www.rajaebookgratis.com





                   Wibisana  yang  berdiri  agak  dibelakang  Ikanuri  menyibak  maju  ke  depan.  Berusaha
               tersenyum ke gadis penjaga loket biro perjalanan di Bandara Roma yang sejak tadi berkali-
               kali tersenyum tanggung menghadapi seruan-seruan Ikanuri.
               "Percuma,  Senior,  Benar-benar  full.  Anda  lihat  rombongan  di  sana!  Rombongan  kedutaan
               negara Anda. Mereka hari ini juga ingin ke Jakarta. Tidak ada lagi tiket tersisa. Tidak buat
               mereka.  Juga  tidak  buat,  Senior.  Maaf—"  Gadis  penjaga  itu  mencoba  ikut  bersimpati.
               Menunjuk  lima  orang  yang  bergerombol  diruang  tunggu.  Wibisana  dan  Ikanuri  menelan
               ludah.
               "Jadi apa yang harus kami lakukan?" Ikanuri bertanya putus-asa.
               Gadis itu diam sejenak. Mengetikkan sesuatu.
               "Kalau  Senior  mau,  saya  bisa  melakukan  reservasi  penerbangan  dari  bandara  lain...."
               Menekan-nekan keyboard komputernya.
               Wajah Ikanuri sedikit cerah oleh kemungkinan baik tersebut.
               "Dari mana? Verona? Milan? Tidak masalah. Asal hari ini juga—"
               "Maaf, bukan dari Italia, Senior. Tadi sudah saya bilang, malam ini digelar pertandingan final
               Liga Champion di Roma, ditambah pula ini musim kunjungan ke Vatikan, Sakramen Agung.
               Jadi seluruh penerbangan ke kota-kota di Italia penuh. Juga negara-negara di sekitar. Vienna,
               Austria juga penuh. Hm.... Paling dekat.... Ergh, dari Paris, Perancis! Mau??"
               Perancis?
               Rona kabar baik itu seketika padam.

               6
               BERANG – BERANG YANG LUCU
               "YASH! BERHENTI SEBENTAR, YASH!!"
               Dua rekan Yashinta patah-patah menuruni bebatuan gunung ketinggian 3000 meter dpl.
                   Yashinta  tidak  menoleh.  Mata,  tangan,  kakinya  konsentrasi  penuh  menjejak  trek  yang
               sempit dan berbahaya.
               "YASH, TUNGGU — " Terus menuruni bebatuan.
               "Yash, kan tidak semua orang seatletis kamu naik-turun gunung! Kalau keseleo. Benar-benar
               celaka, tahu!"
                   Tersengal-sengal.
                   Yashinta, gadis berambut panjang itu demi mendengar seruan dengan intonasi setengah
               memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan langkahnya, menoleh. Berpegangan ke salah
               satu batu besar. Jurang terjal, menganga di kiri kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi
               lalai sedetik saja, mahal sekali harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya
               turun  dari  gunung  jauh  lebih  berbahaya  dibandingkan  naiknya—  apalagi  dengan  stamina
               yang terkuras habis waktu mendakinya.
               "Ada apa, sih?"
               Teman cowoknya bertanya setelah berhasil mendekat.  Satu kata, satu tarikan nafas. Hosh,
               Hosh,  Hosh.  Uap  mengepul  dari  mulut.  Kedua  rekannya  membungkuk  memegangi  perut.
               Capai. Gila, mereka lima belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop dari puncak
               Semeru.
               "Aku harus pulang!"
               "Iya, kami tahu kau harus pulang, tapi ada apa?"
                   Yashinta tidak menjawab, ia malah menurunkan ranselnya. Mengeluarkan botol 500 mili
               minuman  berion,  pengganti  keringat.  Melemparkannya  ke  dua  rekannya  yang  masih
               tersengal.
               "Trims, Yash." Masih tersengal.
                   Lengang  sejenak.  Yashinta  (yang  sedikitpun  tidak  tersengal)  memperbaiki  posisi
               peralatan  di  ransel  berukuran  semi  carrier-nya.  Mengencangkan  syal  di  leher.  Angin  pagi
   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20